Kemarin saat menelusuri linimasa facebook, saya menemukan sebuah status duka cita dari sahabat dunia maya. Reaksi spontan saya adalah menekan tombol reaction sedih yang memang merupakan fitur facebook pada setiap unggahan status, lalu tak lupa ikut memberikan komentar turut berduka cita di kolom komentar.
Setelah itu saya baru melihat sesuatu yang janggal. Ada pengguna facebook lainnya, kawan dari kawan saya memberikan memilih reaction "super" yang disimbolkan dengan ikon hati. Ada juga sejumlah like yang disimbolkan dengan ikon jempol. Yang kedua ini sepertinya sudah jamak terlihat, tapi yang pertama rasanya aneh.
Saat membuka daftar pemberi like dan reaction yang lain terlihat yang memberi tanda hati itu hanya seorang saja. Saya tidak mengenalnya, jadi enggan menanyakan lebih maksud reaction yang diberikannya itu.
Saya jadi teringat dengan tulisan jadul berjudul Etiskah "Menyukai" Status Duka Seseorang yang saya tulis beberapa tahun lalu di Kompasiana. Saat itu facebook belum memiliki banyak pilihan reaction seperti saat ini.Â
Jadi tombol like bisa digunakan sebagai ungkapan atensi secara universal, entah itu sedih, gembira, terkejut dan emosi lainnya. Walaupun demikian, saat itu saya sudah merasa "tidak enak" memberi jempol pada status duka cita seseorang.
Saat ini facebook adalah platform media sosial yang memberikan ruang lebih besar bagi penggunanya yang ingin menyampaikan perasaan pribadi lewat variasi tombol like.Â
Bandingkan dengan media sosial lainnya seperti twitter atau instagram. Jadi semestinya untuk menanggapi sebuah status dan ikut berempati dengan si empunya status, kita bisa memberikan reaction yang lebih tepat.Â
Dengan demikian jika terjadi reaction yang kontras dengan status yang ditanggapi, seperti pada pengalaman saya di atas, ada beberapa kemungkinan penyebabnya.Â
Pertama, yang bersangkutan memang tidak suka atau memiliki masalah dengan si pemilik status. Kedua, yang bersangkutan salah pencet tombol like. Tapi untuk alasan yang kedua ini sebenarnya tidak perlu terjadi karena pilihan tombol reaction di facebook bisa dikoreksi segera.
Kemungkinan ketiga, yang bersangkutan tidak paham dengan makna dari tombol reaction yang dipilihnya. Ini sama dengan kesalahan memilih emoticon yang biasa kita gunakan pada saat chit chat.Â
Pernah pada salah satu grup whatsapp ada yang memulai pembicaraan dengan kabar duka. Ungkapan ikut berbelasungkawa dari penghuni grup yang lain pun muncul susul menyusul.Â
Tiba-tiba ada komentar berbelasungkawa yang diikuti oleh emoticon tertawa terbahak-bahak (sampai air mata keluar), yang dikirimkan oleh emak-emak yang rupanya baru belajar bersosial media. Dengan sigap salah satu kawan melakukan percakapan pribadi dengan si emak. Rupanya telah terjadi kesalahpahaman.Â
Si emak menyangka emoticon itu adalah tanda sedih karena ada gambar air matanya. Malangnya saat itu whatsapp belum punya pilihan menghapus chat terakhir. Si emak pun meralat komentar sebelumnya dengan permintaan maaf.
Pelajaran yang bisa dipetik adalah memilih tombol reaction atau pun emoticon tetap harus dilakoni dengan hati-hati dan bijaksana. Jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman antara pengirim dan penerima tanggapan, juga dengan pembaca sesama pengguna media sosial yang lain. Walaupun kita memang memiliki masalah dengan si pembuat status, rasanya kurang etis memilih reaction yang kontras dengan status yang ditayangkan.Â
Kecuali kita memang ingin seluruh dunia tahu masalah kita dengan si pembuat status. Pada zaman media sosial ini, jempol kita memegang peranan sangat penting dalam mendekatkan relasi kita dengan orang lain, atau malah sebaliknya. Tapi bukankah media sosial sejatinya diciptakan untuk saling mendekatkan? (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H