"Maka mulailah berkata-kata," sahut Pelantun Puisi.
"Aku tidak bisa. Aku butuh jeda untuk memanggil kata-kata dari udara, sementara pelangi kita sudah nyaris sirna. Kamu saja, puisi-puisimu lahir dari keterkejutan, bukan? Dan selalu hadir tiba-tiba."
Pelantun puisi juga nampak takut tidak bisa menyelamatkan pelangi mereka. Pandangannya sejenak teralih pada bayangan mereka di lantai rooftop. Beberapa detik kemudian, raut wajahnya berubah. Bibirnya menyunggingkan senyuman dan matanya lebih bercahaya.
"Aku tahu sekarang. Pelangi memang butuh jiwa yang ditiupkan kepadanya. Tapi bukan kita yang bisa memberinya jiwa."
"Jadi siapa yang memberinya jiwa?" tanya Pengrajin Cerpen.
Pelantun Puisi berbalik ke belakang sambil tersenyum. "Dia jawabannya, Matahari dan... hujan."
Pengrajin Cerpen terkejut dan ikut menoleh.
"Tanpa matahari dan hujan, pelangi akan kehilangan keindahannya, bahkan pelangi tidak akan pernah ada," ucap Pelantun Puisi lagi. "Saat titik-titik hujan beradu dengan larik cahaya matahari, saat itulah pelangi hadir. Sekarang seiring matahari beranjak ke barat, pelangi kita juga memudar."
"Wah, begitu rupanya..." Pengrajin Cerpen mengangguk-angguk pelan. "...tapi," ucapnya ragu.
"Kenapa, Sayang?"
"Apa kehadiran kita tidak dibutuhkan lagi?"