Jantung kedua sejoli berdebar-debar karena sesuatu yang ditunggu telah menunjukan rupanya. Jauh di depan sana, di antara barisan pencakar langit, dua kaki busur raksasa mulai terbentuk. Lalu seluruh tubuh busur aneka warna itu tersingkap di bawah langit. Indah nian.
Mata Pengrajin Cerpen dan Pelantun Puisi nyaris tak berkedip menikmati pemandangan itu.
"Lihat... begitu agung karya Sang Maestro," bisik Pengrajin Cerpen.
Pelantun Puisi mengangguk pelan sekali, tak mau kehilangan momentum sedikit pun.
Saturasi warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu yang membentuk lengkungan busur raksasa itu semakin kuat.
"Lihat keindahannya... kita tidak perlu lagi memberinya jiwa," bisik Pengrajin Cerpen lagi.
Pelantun Puisi mengangguk kembali.
Gerimis telah benar-benar beranjak. Gulali raksasa sudah berarak menjauh. Seiring kepergiannya, matahari juga mulai menuruni puncak singgasananya. Senja datang dari balik punggung kedua sejoli.
"...tapi," ucap Pelantun Puisi tertahan. "Lihat, pelangi mulai kehilangan keindahannya."
Pengrajin Cerpen membenarkan. Ada bias-bias tak percaya dari sorot matanya. Perlahan-lahan busur raksasa di bawah langit menghilang. Warna-warni keindahannya pun memudar.
"Kamu benar, Sayang. Kita-lah yang harus memberinya jiwa," Pengrajin Cerpen mendekap takut pada tangan kanan Pelantun Puisi, seolah sebentar lagi akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga.