Sudah kuduga. Aku pun membuang napas dengan kesal, lalu menoleh ke Tuhan. Hah? Dia sudah tidak ada lagi di situ. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan menemukannya di belakang sofa, sedang berpangku tangan sambil menggeleng-geleng marah ke arah setan yang kembali berpangku kaki. Setan tidak menyadari keberadaan Tuhan di situ.
"Maaf ya, Bro. Aku mau tidur dulu, sofamu empuk sekali," ucap Setan sambil memejamkan matanya.
Tangan kanan Tuhan pun terjulur untuk menjewer telinga Setan.
"Aduuuuuh! Sakit, sakit...," Setan terkejut dan meringis kesakitan.
"Mau pergi sekarang atau aku jewer sampai putus telinga runcingmu ini?" tanya Tuhan geram.
"Iya, ampun, Tuhan. Iya, aku pergi sekarang!"
"Ayo, berdiri!"
Adegan selanjutnya membuatku tersenyum geli. Tuhan menyeret Setan sampai ke pintu keluar, membuka pintu, membiarkan setan yang masih meringis kesakitan keluar, lalu kembali menutup pintu dari dalam.
"Kamu juga harus beristirahat," ucap-Nya lagi. Intonasi-Nya kembali teduh dan menenangkan.
"Tuhan, Malaikatnya tidak dipanggil lagi?" tanyaku kebingungan.
Tuhan tersenyum. "Malaikat untuk apa? Kamu sendiri sudah cukup. Lagi pula kamu akan selalu menemukan cara untuk memanggil malaikat pelindungmu... dan Aku. Kamu hanya perlu men... co... ba..."