Ada setan dan malaikat di dalam kepalaku. Mereka sedang bermain kartu domino. Seru sekali nampaknya. Yang kalah harus menjepitkan penjepit jemuran ke daun telinganya. Permainan sudah berlangsung belasan seri dan penjepit jemuran berpindah-pindah telinga. Kadang jika salah satunya mengalami kekalahan berturut-turut, berbarislah penjepit jemuran di telinganya.
Aku mengamati permainan sambil tersenyum-senyum sendiri, sampai Tuhan masuk dan mengingatkan keduanya tentang waktu.
"Ayo pulang, sudah larut malam!" perintah Tuhan.
Dengan berat hati keduanya pun membereskan kartu-kartu domino, mengeluarkan jepitan jemuran dari telinga dan merapikan kursi yang mereka duduki. Malaikat melambai kepada Setan lalu keluar lewat pintu ruangan. Aku terkejut.
Setan? Mengapa setan yang jadi penghuni kepalaku?
Saat itu Tuhan juga hendak keluar, jadi aku buru-buru menjajari langkahnya dan bertanya, "Tuhan, mengapa Engkau menyuruh Malaikat keluar, bukan Setan itu?"
Tuhan berhenti dan memandangiku dengan teduh.
"Nak, sebenarnya Aku tidak menyuruhnya. Kamulah yang menginginkan Setan menjadi penghuni rumah ini, sehingga Malaikat merasa di sini tempat asing."
Aku terenyak.
"Kamulah yang bisa membuat Setan itu pergi."
"Caranya bagaimana, Tuhan?" tanyaku, lalu sepersekian detik kemudian aku menyadari betapa bodohnya pertanyaanku.