"Kalau begitu, aku ingin memastikan oasis itu bukan aku, Mas. Atau gadis-gadis lain yang melakukan kesalahan yang sama denganku. Aku rela kehilangan Mas Bram, asal oasis itu benar-benar Mbak Sintia."
Bram tertegun, lalu tahu-tahu tangannya tergerak untuk menyibak ujung rambut Ambar agar rona merah senja menyapu paras cantik itu sepuasnya.
"Aku telah sampai pada titik itu, Ambar. Oasis itu benar-benar Sintia dan anak-anak yang dititipkan pada kami."
Air mata Ambar terus meleleh. Dia tahu, sebentar lagi mereka akan saling mengucapkan salam perpisahan yang pahit. Dia beranjak ke timur sedangkan Bram beranjak ke barat, entah kapan bertemu kembali. Maka sebelum Bram benar-benar berpaling, Ambar menahannya dengan kata-kata,
"Tidak adakah kecupan perpisahan untukku?"
Kening Bram mengernyit. Ujian apa lagi yang diajukan Ambar kali ini?
"Hanya sebuah kecupan dan... aku akan pergi selamanya dari kehidupanmu, Mas."
Bram ragu-ragu. Tapi sesaat kemudian, bibir keduanya berpagutan.
mesra...
dalam...
jiwa keduanya berpadu...
sebelum rona senja menyapa sebilah pisau yang dikeluarkan Ambar dari bawah kardigannya. Pisau itu pun dihujamkan dengan deras.
---