Seorang penulis pasti ingin buah pikirannya sampai kepada pembaca melalui tulisan-tulisan yang dibuatnya. Namun kadang kesalahan-kesalahan dalam penulisan membuat pesan untuk pembaca tidak sampai secara utuh. Kesalahan seperti typografi, diksi yang tidak tepat dan lain-lain adalah contoh hal-hal yang membuat sebuah tulisan berkurang kualitasnya.
Hal ini berlaku pula untuk tulisan bergenre fiksi. Beberapa waktu lalu saya mengikuti event 100 Hari Menulis Novel yang diselenggarakan oleh Fiksiana Community. Karya saya dinyatakan lolos dan setelah melakukan self-editing beberapa kali terhadap naskah novel, naskah tersebut diserahkan kepada editor untuk disempurnakan lagi.
Hasil editing dari editor masih dikembalikan kepada saya untuk dicek kembali. Saya pun membandingkan naskah tersebut dengan tulisan aslinya. Walhasil, sentuhan editor membuat naskah saya jauh lebih apik, lebih renyah dan jauh lebih enak dibaca. Ternyata cukup banyak kesalahan pada naskah asli yang harus diperbaiki oleh editor. Di sinilah saya memperoleh pengalaman berharga sekaligus pelajaran baru, bagaimana sebenarnya menulis sebuah naskah yang baik.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya akan berbagi kepada pembaca sekalian mengenai beberapa kesalahan pada penulisan, khususnya tulisan fiksi. Kesalahan-kesalahan ini jika dapat diminimalisasi sejak awal dapat mengurangi beban editor sekaligus menghemat waktu proses editing karya anda. Mari kita mulai.
- Banyak Konjungsi yang Tidak Perlu. Ini salah satu kesalahan utama saya. Penggunaan kata sambung kita maksudkan untuk menghubungkan kata, frase maupun kalimat. Seringkali penulis merasa perlu mengungkapkan isi kepalanya segamblang mungkin kepada pembaca. Penulis "takut" apa yang ada di kepalanya tidak sampai secara utuh, sehingga menggunakan konjungsi berlebihan pada tulisannya. Padahal hal tersebut justru bisa membuat pembaca kebingungan.
- Kata tidak baku. Penggunaan kata-kata yang tidak baku dapat mengganggu suasana membaca dan menurunkan kualitas tulisan. Penggunaan kata yang sudah sangat familiar belum menjamin kata tersebut baku atau standar. Banyak contohnya, misalnya masih banyak yang menulis kata nafas, padahal semestinya napas, atau praktek padahal semestinya praktik, hembus padahal semestinya embus dan lain-lain. Kesalahan ini dapat dihindari dengan sering-sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tidak usah khawatir, saat ini KBBI versi online maupun offline juga sudah tersedia, tinggal unduh saja.
- Hati-hati dengan Imbuhan. Imbuhan tertentu jika digabungkan dengan kata tertentu membuat beberapa huruf pada kata tersebut menjadi luruh. Nah, penggabungan imbuhan dan kata yang tidak tepat dapat mengganggu mata pembaca. Sebenarnya mirip dengan kesalahan nomor dua di atas. Penulisan yang sudah familiar tidak menjamin kata tersebut baku atau standar. Misalnya, imbuhan me + percaya + i seringkali akan ditulis menjadi mempercayai. Padahal ini tidak tepat. Imbuhan me + kata dasar yang berawalan dengan huruf P membuat huruf P diawal kata menjadi luruh. Jadi semestinya me + percaya + i menjadi memercayai, seperti halnya me + pikir + kan menjadi memikirkan, atau me + puncak + i menjadi memuncaki. Untuk mengurangi kesalahan ini, penulis mesti rajin-rajin membaca literatur dan tulisan lain. Membuka kembali pelajaran Bahasa Indonesia saat sekolah dulu juga bisa dilakukan.
- Hati-hati dengan dialog. Seringkali dalam naskah terjadi percakapan antara dua atau lebih tokoh dalam cerita. Bagi saya pribadi, menulis dialog cukup menguras konsentrasi juga imajinasi, karena kita akan menghadirkan ekspresi dari karakter tokoh di ruang kepala para pembaca. Nah, salah satu kesalahan pada bagian dialog khususnya yang melibatkan banyak karakter, adalah keterangan tokoh yang hilang. Maksudnya setiap kutipan kalimat harus diikuti atau diawali oleh tokoh mana yang kita maksudkan. Berbeda dengan dialog yang melibatkan hanya dua tokoh, penulis dapat meletakkan kutipan kalimat susul menyusul tanpa keterangan tambahan. Ini sudah dapat diartikan kedua tokoh melakukan percakapan berbalasan oleh pembaca. Hal lain saat menulis dialog adalah hati-hati jangan sampai ada nama tokoh atau dialog yang tertukar karena akan sangat membingungkan pembaca.
- Konsistensi. Konsistensi yang dimaksud ini mencakup banyak hal. Dalam penulisan fiksi khususnya novel, ada durasi yang cukup panjang mulai dari perkenalan para tokoh, konflik, klimaks dan anti-klimaks. Oleh karena itu harus konsisten dengan apapun yang sejak awal sudah dimunculkan, mulai dari karakter, PoV sampai hal-hal kecil misalnya julukan dan lain-lain. Panggilan yang berubah-ubah padahal diucapkan oleh orang yang sama tentu akan terasa aneh. Misalnya pada awal-awal cerita panggilan tokoh A ke tokoh B adalah Tuan, eh di lain tempat berubah menjadi Kakak. Atau pada awal cerita disebutkan C memiliki phobia pada ketinggian, tiba-tiba di bagian novel yang lain diceritakan C adalah atlit panjat tebing, tanpa keterangan tambahan.
Nah, lima hal di atas adalah contoh kecil kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan penulis (khususnya penulis pemula). Sebenarnya cara paling mudah untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan ini adalah sebelum menyerahkan naskah kepada editor, self-editing mutlak diperlukan. Penulis harus melepaskan egoismenya sebagai pemilik naskah dan membaca naskah tersebut dari sudut pandang orang lain.
Ini cukup berat, karena seringkali pada self-editing kita sampai harus "tega" membuang beberapa bagian tulisan yang cukup mengganggu keutuhan naskah. Padahal awalnya kita mungkin saja berpikir keras  saat menuliskan bagian tulisan tersebut.
Tapi tidak usah khawatir. Kabar baiknya, kemampuan menulis juga dapat ditingkatkan seiring dengan jam terbang. Salam Kompasiana. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H