Hujan sudah berhenti, Sayangku. Artinya sudah waktunya aku mengantarmu pulang. Kalau kemalaman, aku takut besok-besok tidak dikasih izin lagi sama Pak Pulisi. Begitu kadang aku memanggil bapakmu. Kamu pun mengangguk sambil tersenyum. Kamu tahu aku tidak bermaksud sedikitpun menjelek-jelekan dia walau kadang dia suka kepo dan kalau frekuensi kunjunganku lebih sering, dia suka memberlakukan jam malam. Ya, bagaimanapun juga kalau jodoh bapak kamu akan menjadi calon mertuaku, bukan?
Di atas skuter maticyang garang menembus jalan-jalan kota, kamu merapatkan tubuh ke punggungku. Ah, kita memang sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Rembulan pun serasa menurunkan tirai tak kasat mata untuk mengenyahkan hawa dingin yang diembuskan malam ini.
Sesampai di rumahmu, waktu menunjukan pukul 21.45. Tidak terlalu malam. Pak pul... eh, bapak kamu pun terlihat sedang serius di teras rumah. Di hadapannya ada papan catur dan Bang Jek, tetangga sebelah rumah. Sepertinya bapak kamu menemukan lawan sepadan dalam tanding catur ini.
Setelah memberi salam, aku duduk di sisi meja pertandingan sembari meletakkan sekotak martabak yang langsung menebar aroma menggoda.
"Tidak kehujanan kalian?" tanya bapak kamu dingin.
"Tidak, Om," sahutku.
"Ini buat dimakan, kan?" sambung Bang Jek. Tangannya bergerak lincah membuka kotak dan mencomot satu potong martabak.
"Iya, Bang."
Sepi sesaat, karena pikiran dua bapak-bapak di hadapanku kembali tertuju pada biji-biji catur, juga karena mulut mereka sibuk mengunyah potongan-potongan martabak.
Saat hendak pamit, kamu keluar dari rumah dengan pakaian yang lebih santai, T-shirtdan celana jeanspendek.
"Bapak, tadi di jalan aku singgah isi pulsa ke nomor bapak," katamu.
"Iya, makasih, ya," bapak kamu menyahut tanpa menoleh.
"Dicek dulu, pulsanya sudah masuk apa belum?" sahutmu.
Bapak kamu pun merogoh saku celana dan sedikit terkejut, karena HP-nya tidak ada disitu. Pandangannya lalu diedarkan ke kursi kosong di samping kirinya, meja catur bahkan ke lantai.