Pada suatu senja menjelang malam, pak Kades keluar rumah dengan wajah gusar. Baju batik merah hati bercorak dedaunan yang mestinya bikin adem, nyatanya tidak berpengaruh sama sekali pada suasana hati orang nomor satu di desa Sumber Tani itu.
Sekitar lima puluh meter dari rumahnya, berdiri malu-malu pos hansip yang saat itu dihuni dua petugas hansip yang sedang on job, Prapto dan Subeno. Bagaikan kucing bertemu tikus, pak Kades pun mengeluarkan aura kebengisannya.
"Kebetulan ada kamu, Prapto!" sambil berkacak pinggang.
Prapto dan Subeno yang sedang bermain catur terkejut karena tidak menduga kehadiran pak Kades yang tiba-tiba. Prapto pun buru-buru beranjak dari dalam posko lalu keluar dan memberi hormat bendera kepada pak Kades.
"Saya, Pak Kades. Ada yang bisa dibantu, Pak?"
"Ada!"
"Eh, iya ada apa, Pak?" suara Prapto mulai gemetar. Subeno yang mengamati dari belakang sedikit bingung. Tidak biasanya pak Kades  gusar seperti ini.
"Prapto, kamu kan sebagai kepala Hansip di desa ini... Mestinya kamu harus saya pecat!"
Prapto terkejut lagi. Topi hansipnya sampai jatuh ke tanah.
"Maaf, Pak... saya salah apa ya?"
"Pakai tanya lagi! Akhir-akhir ini pencurian di desa kita terus terjadi. Kalian ini bisa kerja ata tidak sih?"
"I... iya, pak. Tapi sebagian kan sudah berhasil kami ringkus, ada yang diteruskan ke Polisi, ada yang disuruh bikin surat pernyataan, ada yang dilaporkan ke orang tuanya...."
"Paling juga maling mangga, maling ayam, maling beras... Belum ada pencurian besar yang berhasil kalian tangkap. Lagi pula kejadian pencurian itu terus terjadi. Ini bukti kalian kerja tidak becus."
Prapto terdiam sambil menunduk. Speechless...
"Praptoo!!"
"Eh, iya pak, hadir..."
"Saya beri satu kesempatan lagi. Awas ya kalau sampai ada kejadian pencurian lagi... jabatan kepala Hansip saya kasih ke Subeno. Kamu jadi helper saja..."
Prapto mengernyitkan kening. "Hel.. hel... apa, Pak?"
"Halah! Tidak perlu tahu. Sudahlah, saya mau balik rumah dulu, siap-siap ke hajatan pak Lurah..."
Sepeninggal pak Kades, Subeno menepuk-nepuk pundak Prapto untuk memberi dukungan moral. Tapi keduanya tetap keheranan, tidak biasanya pak Kades marah-marah seperti itu.
Tak lama kemudian, Suprana, bujang yang bekerja di rumah pak Kades melintas dengan sepeda onthelnya. Prapto dan Subeno pun buru-buru menahannya.
"Saya salah apa, Bang?" tanya Suprana ketakutan dengan suara cemprengnya.
"Kamu tidak salah apa-apa. Begini, tadi pak Kades datang marah-marah, emang di rumah baru ada kejadian apa sih?"
Suprana agak lega mendengar pertanyaan itu.
"Oh, itu. Tadi BH ibu hilang. Tahu hilangnya waktu si mbok masukin jemuran ke rumah. Bapak pun panik, takut ada warga yang ngambil BH itu untuk kirim guna-guna ke istrinya."
"Oh, begitu," sahut Prapto dan Subeno kompak. Keduanya pura-pura prihatin, padahal dalam hati girang juga pak Kades kena musibah.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H