Sedikit hujan, tapi tak apa untuk pemanis malam mingguku. Tariannya cukup memberi inspirasi bagaimana nanti harus menyatakan cinta. Atau jika nanti kamu menjawab "tidak", aku bisa berlari keluar dan bersedih tanpa ketahuan.
Aku sampai 10 menit lagi, sabar ya. Macet banget nih
Ice mocca di hadapanku sudah tandas. Tapi teks whatsapp darimu bisa sedikit menghiburku dalam penantian ini.
Akhirnya 15 menit kemudian, senyummu muncul di ambang pintu kafe. Setelan kerja masih melekat, tapi tetap tak bisa menyembunyikan pesona yang membuatku tak berhenti memikirkanmu.
Aku pun berdiri dan menggeser kursi di seberang meja. Tapi... seorang pria bertubuh gempal menyusul, memakai seragam yang sama denganmu. Aku yakin ekspresiku berubah.
Tapi kamu tetap tersenyum manis saat menghampirku. "Randy, sorry ya lama."
"Gak apa-apa, Sa," aku berusaha ramah.
"Eh, kenalin, ini teman kerja aku, Bam-bam. Tadi aku nebeng di mobil dia,"
Aku menyalami kawanmu, "Randy..."
"Bam-bam," sahutnya.
"Ngomong-ngomong, gak apa-apa kan makan bertiga. Kasihan bayi sehat ini sudah kelaperan dari tadi, kebetulan rumah kami searah, jadi sebentar habis dari sini kamu gak perlu repot-repot nganter aku lagi."
"Oh iya, gak apa-apa kok," sahutku lagi sambil tersenyum kecut. Si bayi sehat ikutan tersenyum dengan wajah tanpa dosa.
Hujan di luar semakin deras, seperti meledekku habis-habisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H