Wajah tampan, karir cemerlang, pekerja keras, sedikit perfeksionis tapi sangat toleran. Itulah aku. Sebagai seorang lelaki diriku nyaris sempurna. Nyaris. Hanya ada sedikit masalah. Di usia kepala tiga lewat dua tahun ini, aku belum juga mengarungi mahligai rumah tangga. Menjadi masalah karena aku tinggal di Indonesia Raya tercinta, negara yang masyarakatnya menganggap usia kepala tiga tapi belum nikah juga adalah makhluk ajaib yang diciptakan Tuhan.
Imbasnya, setiap kali menghadiri acara nikahan teman atau bawahan di kantor, sapaan seperti,
“Kamu kapan nyusul?” atau
“Eh, dilambung kiri lagi. Buruan nyusul!” dan sejenis itu selalu mampir di gendang pendengaran.
Untunglah aku sudah cukup terlatih menyahut tahun-tahun terakhir ini. Sekarang aku malah punya jawaban pamungkas yang bisa membuat mereka tidak banyak komentar lagi. Jika ada lagi yang bertanya seperti itu aku langsung menjawab,
“Belum ada tanggal yang cocok, Om, Tante…”
Kalau dijawab seperti itu pasti langsung dijawab “Udah, tidak usah cari hari baik segala. Semua hari itu baik adanya. Langsung saja…”
Aku hanya perlu mengangguk lalu mengamini, lalu pembicaraan akan mengarah ke hal lain. Selamet!
Tapi kadang-kadang ada juga yang mencecar,
“Hah? Berarti calonnya sudah ada, ya. Kok tidak pernah kelihatan?”
Saya menjawab lagi, “Calonnya pasti ada, Om, Tante. Hanya belum ada yang cocok!”
---
Yah, kesimpulannya menghadiri acara nikahan seperti itu akhir-akhir ini benar-benar membuat tidak nyaman lahir batin. Aku terpaksa harus membajak Inel, sekretaris imut-imut yang kebetulan lagi jomblo juga, atau Santi, tetangga rumah yang bersedia diajak kemana saja yang penting ada acara makan-makannya biar tidak terlihat datang seorang diri. Bisa kena sindir lagi nanti. (NB: Santi ini janda kembang loh. Tapi sumpah tidak ada apa-apa diantara kami.)
Tapi yang namanya nasib memang susah diprediksi. Malam ini aku terpaksa harus bertandang ke acara resepsi pernikahan seorang kolega di perusahaan kami. Pakai kata terpaksa, karena tidak ada cewek satu pun yang bisa dibajak kali ini. Tapi mau mangkir juga tidak enak, karena yang nikah itu cukup akrab denganku. Saat penerimaan karyawan dulu, kami satu angkatan. Walaupun dia akhirnya bertugas pada divisi logistik, sedangkan aku pada divisi pemasaran.
Makanya selama acara, aku sengaja mengambil tempat agak ke pojok, di tempat yang pencahayaannya paling minim biar bisa menghindar dari keramaian dan sewaktu-waktu bisa kabur tanpa ada yang merasa kehilangan.
Saat MC sedang memandu kedua pengantin mengadakan selebrasi dengan memotong kue pengantin raksasa di atas panggung, sebuah suara asing mampir di telingaku.
“Raka…??”
Aku menoleh ke asal suara itu. Wajah cantik, rambut lurus sebahu, dengan gaun merah maroon yang selaras dengan warna lipstiknya segera terpampang beberapa meter di depan wajahku. Sorot mata itu, aku seperti pernah mengenalnya.
Astaga!
“Clarisa?”
Cewek itu tertawa renyah, lalu menghampiri mejaku dan menduduki kursi di sampingku.
“Syukurlah kamu masih ingat aku…”
“Masih dong,” kami bersalaman. “Bagaimana kabar kamu, Sa?”
“Masih hidup…,” candanya.
Anak ini semakin cantik dan dewasa saja nampaknya. Beda dengan… 15 atau 16 tahun lalu. Wajar memang sebenarnya. Tapi entah mengapa aku begitu pangling dan terpesona dibuatnya.
Seorang bocah berusia tiga tahunan berlari kecil melintas di sisi meja kami. Clarisa berteriak kecil lalu buru-buru menangkap tubuh bocah itu. Keduanya tertawa, sebelum Clarisa menyeret buruannya kembali ke arahku.
Memang barang bagus pasti cepat laku.
Sial, Clarissa sepertinya bisa menangkap perubahan ekspresiku sehingga buru-buru mengklarifikasi
“Ini, Charles, Raka. Keponakan aku. Charles, ayo salam sama Om…”
Hah? Syukurlah…
---
Pertemuan kami malam itu meninggalkan kesan mendalam untukku.
Clarisa adalah mantan pacar zaman cinta monyet di SMU dulu. Kalau tidak salah kami berpacaran setahun atau lebih sedikit dan saat aku melanjutkan kuliah di Jakarta kami putus.
Kami sudah saling bertukar nomor telepon. Dari percakapan, aku mengetahui dia juga masih lajang… sepertiku. Tapi untuk meyakinkan diri aku pun stalking di akun media sosialnya.
Dia ternyata bekerja sebagai staf di kantor konsultan pajak dan aktif di komunitas penulis. Ayah dan ibunya masih hidup sampai sekarang. Dan informasi yang paling penting adalah dia memang benar-benar masih lajang, dan sepertinya tidak sedang menjalin hubungan dengan lelaki saat ini.
Mungkinkah Clarisa ini adalah calon kekasih yang baik hati yang dikirimkan Tuhan kepadaku? Kalau iya, Tuhan memang benar-benar mengetahui momentum yang pas untuk menolongku. Tapi aku tidak mau buru-buru.
Biarlah perkenalan dan perkawanan kami selanjutnya berjalan alami saja. Toh walaupun pernah berteman dekat di masa lalu, waktu bisa saja merubah diri kami. Jadi tetap butuh waktu untuk saling mengenal pribadi masing-masing kembali.
---
Lalu tahu-tahu di sinilah kami terdampar malam ini. Di sebuah café pinggir laut yang romantis dan nyaman. Waktu satu bulan telah berlalu setelah pertemuan pertama kami di acara nikahan teman kantor. Dalam kurun waktu itu, kami telah beberapa kali bertemu, menuntaskan pertemuan yang sempat terputus di masa lalu.
Di café ini kami bercerita ngalor ngidul, tentang masa lalu dan masa kini.
Di atas meja ada dua cangkir cappucino dan sisa-sisa roti bakar untuk mengganjal perut lapar. Ada juga lilin merah hati yang diletakkan di dalam gelas, benar-benar sesuai dengan suasana hati.
“Terakhir kali pacaran kapan, Sa?” tanyaku mengubah dinamika perbincangan kami. Sekarang aku akan mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal tentang masa depan.
Clarisa sedikit terkejut lalu terdiam dan menatapku. Dia lalu berpikir
“Mm… kayaknya tiga atau empat tahun lalu, Raka. Kenapa memangnya?”
Aku juga ikut berpikir kapan ya terakhir kali membawa seorang cewek kencan seperti malam ini? Sepertinya tiga atau empat tahun lalu juga.
“Tidak. Cuma tanya doang…”
“Bertanya kan pasti ada motivasinya.”
“Nanya doang itu motivasi atau bukan ya?”
Clarisa tertawa lagi, memamerkan deretan giginya yang putih bersih. “Kamu masih saja selalu kocak, Raka. Kamu sendiri? Sampai sekarang kok masih betah menjomblo?”
“Bukan betah tidak betah, sih. Belum ketemu cewek yang cocok saja.”
“Paling kamu yang pilih-pilih…”
“Ya, untuk jadi pendamping hidup harus pilih-pilih dong. Beli ubi saja mesti dipilih-pilih…”
Clarisa tersenyum.
“…belum ada yang seperti kamu,” sahutku lagi.
Senyuman Clarisa seperti jadi surut. Saat itu ada seorang pasangan muda lainnya melintas di samping meja kami. Keduanya bergandengan mesra, membuatku merasa getaran pikiranku dan Clarisa sedang berada di frekuensi yang sama saat ini.
“Raka, kamu tahu tidak, seorang wanita tidak akan melupakan cinta pertamanya dengan mudah. Dan kamu… kamu cinta pertamaku. Walau saat itu kita masih ABG labil yang masih jauh dari kata dewasa.”
Perlahan aku menggenggam jemari Clarisa di atas meja.
“Kalau begitu tidak butuh waktu lama untuk belajar mencintaimu lagi, Clarisa.”
Clarisa menarik tangannya.
“Tapi sekarang keadaan telah berubah, Raka.”
“Apa yang berubah?”
“Aku… Kamu tidak mengerti.”
---
Pembicaraan malam itu jadi tergantung. Aku berpikir akan menuntaskan malam itu dengan menegaskan perasaanku padanya dan memastikan hubungan kami naik status dari sahabat jadi kekasih. Tapi Clarisa berkehendak lain. Pembicaraan kami jadi hambar sampai aku mengantar kembali ke rumahnya.
Tiga hari kemudian aku baru menemukan jawabannya. Pesan WA-nya masuk saat aku sedang memeriksa laporan-laporan penjualan.
Raka, terima kasih atas kebersamaan kita selama ini. Walau singkat, tapi aku merasa hidup ini kembali berwarna setelah perjumpaan pertama kita.
Aku mau menyampaikan kebenaran kepadamu. Sebenarnya saat ini aku sedang hamil dua bulan, Raka. Mantan pacarku pelakunya. Itulah yang membuat aku ragu menjalin hubungan yang lebih serius denganmu. Tapi kemarin tanpa disangka-sangka, laki-laki itu datang bersama orang tuanya untuk melamarku. Kedua keluarga besar telah setuju. Kami akan pindah ke Pekanbaru, untuk memulai hidup baru di sana.
Kamu tetap cinta pertamaku, Raka, sampai kapanpun. Maaf hanya bisa berpamitan lewat WA ini.
Seperti itu rupanya aral yang merintangi jembatan hati Clarisa. Kedua jempolku hendak menari untuk membalas pesan Clarisa. Tapi otakku mendadak kosong, entah mengapa. Mungkin karena pesan ini cukup membuatku terpukul.
aku merasa hidup ini kembali berwarna setelah perjumpaan pertama kita.
Mungkin kata-kata Clarisa ini yang juga tepat untuk menggambarkan perasaan yang telah terbangun dan harus kembali terpuruk.
Terima kasih. Selamat tinggal.
Biasa aku suku berkata-kata. Tapi kali ini hanya empat kata itu yang bisa aku ungkapkan untuk membalas pesan Clarisa.
Memang benar, barang bagus pasti cepat laku.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H