Benigno mematikan api puntung rokok dengan sepatunya. Dia berada di atas sebuah flyover yang tidak digunakan lagi. Keadaan gelap, dingin dan sepi membuat lokasi itu lebih mirip tempat terkutuk dibanding salah satu sudut metropolitan.
Senjata Cheytac M2000 sudah disiagakan sejak tadi. Tapi sudah belasan rokok dihabiskan belum ada tanda-tanda kehadiran target mereka. Diliriknya sekali lagi arloji di tangan kirinya. Sudah pukul 00.35 dini hari.
Mestinya tiga jam lalu dia sudah bersama kekasih barunya. Tapi seperti inilah resiko bekerja pada mafia. Jiwa dan raga sepenuhnya milik big boss.
Earphone-nya berdenging.
“Bravo tiga cek, musang sudah melewati Bougenville…” suara berat terdengar di piranti tersebut.
Benigno diam sejenak, lalu mengamati kembali keadaan jalan di bawah sana dari teropong senjatanya. Dia yakin jalanan masih lengang seperti tadi.
“Bravo tiga?”
“Negatif… “
“Mestinya musang sudah masuk jangkauan senjatamu,” suara di piranti meninggi.
“Tidak ada apapun di bawah sana, Keparat!” hardik Benigno kesal.
Terdengar letusan senjata. Sesaat kemudian Benigno nampak terkapar dalam sakratul maut dengan leher kiri bermandikan darah.
Seorang pria lain dalam kegelapan malam mendekat hati-hati ke arah tubuh Benigno.
“Bravo tiga? Respon, Bravo tiga?”
Pria itu mengambil alih earphone.
“…bravo tiga mati. Musang di sini, bilang pada tuan Chekov, perjanjiannya dibatalkan!” ucapnya sedingin malam.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H