Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tom, Tam dan Pierre

22 Januari 2017   16:44 Diperbarui: 22 Januari 2017   17:00 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari: http://bzupages.net/

Saat hujan membangunkan matahari dari tidur panjangnya, aku sedang menulis surat wasiat ini. Jaket  tebal dan syal rajutan dari bibi Sandra tua tidak cukup ampuh mengusir sengatan dingin di pori-pori kulitku. Saat jemariku gemetar, aku beristirahat sejenak sebelum melanjutkan goresan pena. Tulisan di surat ini lebih banyak mengenai  saham-saham, sejumlah besar tabungan di Perancis dan Singapura, juga rumah-rumah yang aku miliki di seantero Eropa.

Tapi itu semua hanya benda mati, menjadikannya tidak terlalu penting menurutku. Aku lebih memilih kata-kata yang tegas dan jelas saat menulis tentang anak-anak kucing itu untuk memastikan mereka tidak dicampakkan saat aku tiada.

Mereka bertiga terlalu manis untuk ditelantarkan. Kamu juga setuju bukan? Tom, Tam dan Pierre. Nama-nama yang kamu berikan membuat mereka jadi terlihat lebih tampan. Kali ini aku setuju untuk mengalah darimu, padahal aku sudah punya nama-nama yang tidak kalah manisnya. Kita selalu bertengkar tentang apa saja, Sayang. Tapi di saat-saat akhir ini aku merasa pertengkaran-pertengkaran itu tidak banyak berguna lagi. Apalagi saat membicarakan Tom, Tam dan Pierre, kita selalu punya nada yang sama.

Aku semakin lemah, Sayang. Tapi aku terus berpura-pura tegar, agar pikiranmu tidak terbebani saat melakukan hobi dan kegembiraan yang sudah lama kamu tinggalkan karena merawat si tua sakit-sakitan ini. Tur panjang bersama teman-teman kuliahmu dulu, mengambil kelas salsa, menghadiri pesta-pesta makan malam yang mewah dan membosankan, tanpaku atau denganku.

Kini hujan bernyanyi lagi, Sayang. Mereka sudah cukup besar untuk meloncat dari atas kursi ke atas meja kerjaku. Tam pernah menumpahkan botol obatku, membuat kapsul-kapsul mahal itu berceceran. Detak jantungku nyaris berhenti saat itu.

Hujan berhenti bernyanyi sehingga suara Pierre dan bola-bola plastik yang dimainkannya terdengar jelas seperti riuh kelompok drum. Begitu pula suara kepala pelayan yang menyampaikan pesan kalau kamu bermalam di rumah sepupumu. Kamu semakin sering menemukan alasan untuk meninggalkanku melewati hari dan malam sendirian.

Biarlah... Selama Tom, Tam dan Pierre belum menjauhiku, aku masih bisa menikmati hidup.

Hujan yang sama bernyanyi lagi. Anehnya, aku bisa memandang tubuhku sendiri terpaku kaku di atas ranjang. Bukan kamu, salah satu pelayan atau siapapun, tapi Tom, Tam dan Pierre-lah yang menjadi saksi saat aku meregang nyawa. Aku merasa sangat ringan. Aku tersenyum, saatnya sudah tiba.

Kamu mestinya akan merasa sedih. Tapi kamu juga akan bahagia mendengar apa yang akan dibacakan pengacaraku selanjutnya.

***

Entah sejak kapan, hujan sudah tidak pernah bernyanyi lagi. Sepertinya saat kamu mulai membawa laki-laki perlente itu ke rumah kita. Pierre. Sekarang aku tahu darimana nama anak kucing itu. Dan sepertinya kamu juga sudah menjalin hubungan dengannya jauh sebelum kamu memberi nama pada anak-anak kucing itu. Setiap kali kamu menyebut namanya, aku pikir kamu menyebut nama kucing manis itu. Aku tiba-tiba merasa mual dan bodoh.

Dan lihatlah, kamu mulai mengabaikan pesanku tentang anak-anak kucing itu. Kamu mulai mengabaikan mereka dan mengejek mereka di depan Pierre. Aku merasa sedih dan marah, Sayang.

Kemarahanku memuncak. Hari ini aku tidak melihat Tom, Tam atau Pierre di sudut rumah manapun. Tidak juga bersama salah satu pelayan.

Mengapa warisan benda mati kamu terima dengan senang hati, tapi makhluk-makhluk tak berdosa itu kamu abaikan. Aku masih di sini, Sayang. Lihat saja, aku akan kembali dan merebut semuanya!

***

Pagi ini udara cukup dingin menyengat. Tapi aku tidak membutuhkan lagi mantel atau syal. Aku telah berada di depan pintu kamar dan memandang nanar ranjang yang dulu kita jadikan tempat memadu kasih.

“Hei, keparat!!” seruku.

Tapi bukan suara seperti itu yang keluar dari mulutku. Sial! Aku lupa aku sedang meminjam raga yang lain.

“Tom?” Kamu bangun dari dekapan Pierre lalu memandangku dan terkejut setengah mati. “Sayang, bukankah minggu lalu kita sudah menyerahkan semua kucing itu ke Bibi Sandra?”

Pierre hanya menggumam tak jelas. Aku pun melompat dan menerjang deras ke atas tumpukan tubuh mereka.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun