Waktu surut hampir paripurna, begitu bisik angin laut.
Karabeam, sang kepala suku, memberi titah kepada rakyatnya agar mengumpulkan makanan lebih cepat lagi. Cacing, lumut, bangkai, apa pun yang bisa dijadikan persediaan.
Pasang naik kali ini akan menjadi yang terlama dalam sejarah peradaban kepiting, begitu bisik angin laut. Minyak hitam beracun tumpahan kapal akan segera sampai ke pesisir sehingga mereka harus istirahat berbulan-bulan di bawah pasir.
“Heh!” Karabeam berseru kepada kepiting tua di sebelah karang berbentuk sepatu. “Jangan malas-malasan!”
Karabeam memang sedang lelah lahir batin. Dia harus memikirkan kelangsungan hidup kaumnya sekaligus memikirkan istrinya yang saat ini sedang uring-uringan karena musim bertelur tiba.
Karabeam marah lagi saat rakyatnya bubar, kocar-kacir seperti paguyuban sabung ayam digerebek polisi.
“Siapa suruh bubar?! Siapa suruh bub…!”
Karabeam kelu dan tak bisa bergerak. Dia terlalu marah sampai tidak awas lagi dengan keadaan sekitar, juga mengabaikan seruan-seruan rakyatnya. Tubuhnya dihimpit ke pasir oleh logam keras. Memang matanya bisa berputar 360 derajat, tapi tidak kedua capitnya. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Ikan Darat, panggilan mereka untuk anak-anak nelayan.
Ikan Darat kini tertawa puas memandangi tangkapannya.
Karabeam menangis, tidak menyangka hidupnya akan berakhir di Neraka Panci. Yang membuat sedih, dia belum sempat mencari pengganti dan mengucapkan perpisahan kepada istrinya.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H