Bapak lalu mengusap-usap kepala saya.
"Syukurlah. Berarti belajarnya juga mesti lebih rajin, ya. Berdoanya juga begitu. Eh, kamu masih sering berdoa untuk ibu, kan?"
Saya mengangguk.
Kata bapak, ibu pergi ke surga saat saya berusia satu tahun. Tapi bapak bilang ibu selalu ada di dekat kami. Jadi saya bisa tetap menyapa ibu lewat doa.
"Ya, sudah. Mumpung kamu lagi libur, jaga rumah sebentar ya. Bapak mau ke rumah bapaknya Husni dulu, ngantar duit plastiknya."
"Siap laksanakan..."
Bapak tertawa lalu menepuk bahuku.
Tak lama kemudian suara motor tua bapak terdengar meninggalkan rumah.
Saat sedang mendorong sepeda saya, muncul iklan Sinterklas di TV. Saya dulu selalu punya cita-cita bisa bertemu Sinterklas sungguhan, yang benar-benar naik kereta salju dengan rusa-rusa terbang, bukan seperti yang ada di TV.
Tapi sekarang, punya bapak yang hebat dan bisa berdoa untuk ibu, cukuplah sudah. Natal sudah lengkap rasanya.
---