Sudah bertahun-tahun kamu tak lagi percaya pada hujan. Kamu membiarkan tetes demi tetes jatuh begitu saja tanpa tegur sapamu. Kamu membisu dan membiarkannya membisu, sampai dia enggan menghampirimu lagi.
Kamu pernah membiarkan hujan menyamarkan air mata yang mengalir di pipimu. Tapi saat ini kamu tidak memberikannya alasan sedikit pun untuk menyamarkan apa saja yang hendak kamu tangisi.
Hari-harimu pun seperti padang gurun tandus yang hanya dihuni oleh kalajengking dan serangga pasir. Pada siang hari panas menyengat, pada malam hari dingin menggigit. Aku tahu kamu sekarat, tapi kamu tidak mau membiarkan dunia mengetahuinya.
Diam-diam aku pun bermuslihat bersama hujan.
“Dia telah dikhianati,” kataku padanya. “…dan dia tidak ingin siapapun menghiburnya, termasuk kamu. Dia mencoba menjadi kuat, tapi sebenarnya tanpa sadar dia sedang menghukum dirinya sendiri.”
Hujan mengangguk.
Lalu sampailah kita pada senja ini.
Hujan kembali hadir. Dia muncul dari balik pasir padang gurunmu, lalu melayang berderai-derai ke langit. Mula-mula kamu kebingungan. Tapi melihat kawan lamamu datang dengan cara tidak biasanya, kamu pun tersenyum lalu… tertawa.
Tertawa terbahak-bahak.
Kini hujan datang tanpa membuatmu menjadi lemah.
Kamu dan hujan pun bercakap-cakap mesra dan jantungku seperti berhenti berdegup saat hujan membuatmu menolehkan pandangan ke arahku.
Ya, aku akan selalu mencintaimu… walau kamu tak menyadarinya.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H