Ruangan kantor itu terlihat bersih dan mewah. Sinkron dengan fungsinya sebagai “dapur” pengelolaan tetek bengek keuangan departemen.
Sudah sejak tadi jam kantor selesai, jadi sebagian besar meja telah kosong. Hanya nampak Retno, perempuan berkacamata tebal dan bapak Herman pimpinannya yang perutnya super buncit.
Keduanya nampak begitu serius. Kening Retno berkerut memandangi angka-angka di antara kolom dan baris tabel pada layar komputernya, sedangkan kening Herman berkerut memandangi game Onet yang sedang dimainkannya.
Retno lalu berseru panik.
“ Ketemu biang keroknya, Pak! Ternyata selisih budgetnya gara-gara ada kesalahan input.”
“Berarti gampang kan? Tingga koreksi saja,” sahut Herman dengan suara datar tanpa mengalihkan pandangan dari layar tablet-nya.
“Iya, yang di sini tinggal dikoreksi. Tapi datanya sudah sampai ke Dirjen loh, Pak.”
“Hmm gampang itu. Tinggal dijelaskan saja nanti…”
“Duh, kalau sampai terendus media bisa ramai, Pak!”
“Ah… pejabat kita itu pinter-pinter kok. Tinggal buat penjelasan yang pas saja. Gampang itu…”
Retno nampak semakin gelisah.
“Tapi nominal selisihnya besar sekali, Pak!“
Lama-lama Herman risih juga diganggu terus-terusan. Dia pun dengan berat hati menghentikan permainannya.
“Memangnya selisih berapa sih,Retno?”
“23,3 Triliun pak!” sahut Retno hampir menangis.
Herman terkejut setengah mati. Mulutnya sampai membulat seperti bola pingpong dan tanpa sadar tablet-nya tergelincir jatuh ke lantai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H