Aku seorang pengelana malam. Menunggangi angin dan bergelayut di antara awan-awan. Langit hitam jadi latar pentas sebuah drama panjang yang melelahkan karena aku tidak akan pernah tahu akhir drama ini.
---
Tidak banyak manusia yang betah berlama-lama di bawah gelap malam. Salah satunya manusia itu. Seorang wanita, masih muda kurasa, dengan langkah yang gontai dan rambut panjang yang melambai-lambai ditiup angin darat. Dia selalu membiarkan ujung kakinya dibelai laut yang warnanya sehitam langit.
Setiap kali mendapatinya mencurahkan air mata yang hangat ke atas pasir, aku sejenak berhenti untuk memastikan dia memang sedang bersedih. Bukan sedang berteka-teki dengan desah ombak yang mencoba meluruhkan sepi malam.
Biasanya aku tidak suka bertegur sapa, bahkan dengan angin dan laut sekalipun. Tapi malam ini bulan purnama berbaik hati menyingkapkan raut wajah wanita muda itu. Sesungguhnya dia begitu cantik. Aku merasa nyaris jatuh cinta padanya.
Aku pun meminjam kelebat angin dan butir-butir pasir agar bisa menyusuri jejak-jejak yang ditinggalkannya di pantai.
“Kehilangan sesuatu, Nona?”
Dia terkejut lalu berbalik. Nampak bintang-bintang dalam matanya dari jarak sedekat ini. Sayang sekali, bintang itu seperti sedang meredup.
Dia belum menyahut sedikitpun selain memandangi lekat-lekat diriku, seperti hendak memastikan kehadiranku bukan sebuah fatamorgana.
“Maaf, Tuan. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Akhirnya suaranya yang lirih terdengar juga.