“Tidak, kurasa. Aku bukan penduduk di sekitar sini.”
Pandangannya menajam.
“Tapi rasanya anda begitu familiar. Ya, aku ingat… aku sering sekali memimpikan wajah anda, Tuan.”
Bintang-bintang di matanya tiba-tiba berpendar.
“Katakan, Tuan. Katakan bagaimana rasanya terlelap di siang hari dan berkelana di malam hari? Bagaimana rasanya menjadi bayang-bayang malam? Bagaimana rasanya tak perlu terbelenggu pada raga yang kaku ini?”
Kini giliran aku yang terkejut. Tapi sepertinya aku harus memuaskan dahaga jiwa wanita muda ini.
“Kata-kata sama kakunya dengan raga, Nona. Tidak akan pernah cukup untuk menjelaskan dua dunia yang jauh berbeda.”
Dia memalingkan pandangan ke arah lautan luas yang berwarna keperakan ditempa purnama. Kakinya pun dilangkahkan perlahan. Bibir lautan kembali membelai kaki-kaki itu.
“Tahukah anda, setiap kali berada di tempat ini, aku ingin lautan segera mengantarku pada keabadian malam. Sepertinya itu satu-satunya cara mengakhiri pahitnya kehidupan…”
Aku mulai paham. Dari siluet jiwanya kini terlihat jelas, belati cinta telah menyayat hatinya dalam-dalam, meninggalkan luka yang menganga dan menyakitkan. Selain waktu, mungkin memang kematianlah yang bisa menyembuhkan luka itu.
“Nona,” sahutku mencoba tegar.