Mestinya awan memaklumi matahari. Begitu pula dengan rembulan dan embun pagi. Tidak selamanya matahari mampu tampil perkasa, mengoyak dan menjahit relung semesta dengan cahaya paripurnanya. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan sudah kodrat ciptaan Tuhan, bukan?
Sudah dua hari ini matahari pilek berat, namun tidak ada yang percaya sang cahaya paripurna itu bisa jatuh sakit juga. Pada saat wajah matahari terkapar lemah di atas pembaringan dengan wajah pucat kehilangan rona dan ingus yang jatuh bertetes-tetes, barulah terjadi hiruk pikuk.
Musim berlarian ke sana ke mari tanpa arah. Matahari-lah yang selama ini menguasai penanggalannya. Bulan pun harus bekerja lembur menerangi bumi dengan jantung berdebar-debar karena matahari juga yang jadi sumber kekuatannya. Embun pagi yang terbenam dalam rerumputan tidak tahu lagi kapan giliran mereka tampil di pentas pagi karena selama ini matahari-lah yang membangunkan mereka. Lautan heran. Angin bertabrakan. Badai pun kehilangan orientasi. Semua panik dan kacau balau.
Sementara itu belum ada tanda-tanda matahari akan segera pulih. Badannya masih sering gemetar dengan suhu yang naik turun.
---
Di ujung pagi, seorang pria pelukis panorama alam bernama Mata sedang menggelar kanvas, kuas, cat dan alat-alat lukis lainnya di atas rerumputan. Dia berada dekat dengan sebuah tepi tebing yang dipenuhi bunga dan kupu-kupu.
Saat mulai melukis matahari yang merangkak naik dari balik bukit-bukit, Mata mengernyitkan kening. Dia memandangi alam di hadapannya lalu memandang lukisannya sekali lagi.
Ada yang salah.
Mata pun bertanya kepada awan-awan.
“Mengapa pagi ini alam seperti sedang berduka?”
Awan-awan berpandangan sebelum menyahut,