Matahari mungkin tak pernah akan berkawan dengan purnama. Saat yang satu bersinar, yang lain akan meredup. Saat yang satu menapaki langit, yang lain akan lari sembunyi.
Dahulu Luna dan Ra juga seperti itu.
Saat Luna hadir, bersenandung dan tertawa bersama kami, Ra tiba-tiba terdiam. Kemudian saat Luna menyadari ada Ra, dia cepat-cepat menyingkir. Saat Ra bercerita bahagia, Luna terlihat bersedih hati. Sebaliknya saat Luna tertawa, Ra menahan pilu dalam hatinya.
Ketidakselarasan itu semakin terasa ketika keduanya ternyata mencintai orang yang sama.
Aku.
Luna cantik dengan wajah seperti bulan purnama. Lengkungan senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Dia pandai berpuisi dan memetik gitar. Setiap kali menyanyi, dia membuat semesta seperti terbuai di lipatan tangannya.
Ra manis dan kehadirannya selalu menebar kehangatan seperti matahari. Dia pandai, bijaksana dan baik hati. Dia tidak pernah membiarkan seseorang berlalu begitu saja tanpa membuat orang itu merasa lebih bahagia.
Tapi segala kecantikan dan kebaikan itu bisa berbalik seketika seperti malam yang menutup siang, jika mereka berada pada tempat dan waktu yang sama. Perseteruan mereka bisa membuat gugus bintang-bintang terbolak-balik sampai kapal-kapal layar kehilangan arah dan ditelan badai. Pertengkaran mereka bisa membuat badai kosmis menghajar bumi seperti kapas yang diporakporandakan angin.
Aku sendiri tidak bisa mencintai, karena mencintai seorang berarti akan melukai yang lain. Menyayangi seorang berarti akan menyakiti yang lain. Aku benar-benar tidak bisa memilih. Tetapi mereka terus mendesakku untuk segera menentukan pilihan.
Sampai suatu hari aku benar-benar kehabisan kesabaran sehingga memberi mereka sebuah permainan.  Yang beruntung akan mendapatkan cintaku, yang tidak beruntung tidak akan mendapatkannya… selamanya.
Dan disinilah kami, dihempaskan waktu di depan sebuah altar marmer berbentuk hati. Di atas altar berdiri dua buah cawan kaca berisi anggur manis dari kebun anggur terbaik.