Sebuah karya kolaborasi dari tim API
-------
Handphone dibiarkan tergeletak begitu saja di atas kasur, padahal dari speaker masih terdengar samar-samar suara lelaki memanggil-manggil. Anya tidak peduli. Kedua tangannya menutupi wajah untuk menahan air mata yang meleleh deras. Tapi tidak bisa. Air mata itu adalah luapan kesedihan yang harus ditumpahkan. Semangatnya untuk menjalani hidup menjadi sirna. Padahal cahaya kemerahan matahari senja yang muncul dari balik jendela begitu memesona. Percakapannya barusan telah menutup satu lagi lembaran cerita cinta dalam buku hidupnya. Selalu kisah yang sama, sehingga dia merasa begitu lelah. Lelah dikhianati kekasih juga mungkin dikhianati… cinta.
Rasa terpuruk ketika ditinggalkan seseorang yang dicintai bukanlah sekali dua kali Anya rasakan, namun entah mengapa setiap kali perpisahan menjemput kisah cintanya, Anya selalu merasa terlahir bak seorang bayi. Yang rapuh. Polos. Lugu. Dirinya akan selalu hancur berkeping-keping.
Dulu, ketika pertama kali dikhianati, Anya pernah menasbihkan dirinya untuk tidak lagi mengenal cinta. Cinta pertama yang dipujanya ternyata usianya tidak lebih panjang dari kehamilan seorang ibu, hanya 6 bulan. Dion nama cowok itu. Namun ternyata Dion hanya memanfaatkan popularitasnya sebagai gadis sampul. Di belakang Anya, ternyata Dion menjalin kasih dengan temannya semasa kecil. Anya kecewa dan marah.
Namun, Anya adalah mahluk Tuhan yang hatinya terbuat dari segumpal daging bukan baja, yang kadang tak mampu menolak panah Cupid, si dewa asmara. Anya pun akhirnya jatuh cinta, lagi. Dan terhempas lagi. Jatuh dalam lubang kehilangan berkali kali membuat Anya makin memandang sebelah mata para lelaki yang mendekatinya.
Haruskah berakhir seperti ini? Padahal aku tak pernah menuntut banyak dari sebuah hubungan. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan. Rasa mencintai dan dicintai dengan tulus. Itu saja... Sepertinya aku memang harus menepi dahulu. Atau barangkali tak perlu membuka hati pada siapapun lagi.
Sementara itu dering suara panggilan dari handphone masih terus terdengar. Tapi Anya telah terlelap dengan membawa seribu kepayahan, luka karena cinta.
Lalu muncullah Bayu Erlan, teman satu kampus namun beda fakultas. Dalam lingkungan mahasiswa, siapa yang tak mengenal Bayu. Lelaki pintar, punya segudang prestasi, humoris, kharismatik dan kaum berada namun rendah hati. Yah, walau wajah Bayu standart alias biasa saja, namun karena kepribadiannya itu, para perempuan di kampus memuja dan berharap Bayu menjadi teman dekat mereka. Namun tidak untuk Anya. Baginya lelaki adalah racun, mereka ibarat zat psikotropika yang harus dihindari. Mereka memabukan namun "mematikan". Dan Anya merasa sudah cukup mabuk kemudian "mati"
Tetapi resistensi Anya, malah membuat Bayu semakin mencoba mendekatinya. Kendati Anya selalu berusaha menjaga jarak, ada bias-bias rasa kekaguman dengan kesungguhan mahasiwa senior satu tingkat di atasnya itu. Namun, entahlah. Sepertinya hati Anya tak mampu lagi menerima kehadiran dan perhatian dari seorang lelaki. Lukanya masih basah, merah dan menganga.
"Anya Prameswari Lingga, kenapa kemarin kamu tak menjawab teleponku?" Siang ini Bayu menghampiri Anya di salah satu sudut kantin  kampus.