“Kamu tahu bukan, beberapa mantra pada bagian delapan kitab itu sebenarnya adalah mantra paling kejam yang pernah dibuat dalam sejarah kaum sihir. Lagipula, kamu pun masih harus banyak belajar mempertahankan diri kamu sendiri.”
“Guru, kita bisa menyesuaikannya, bukan?”
“Hentikan!” bibir Guru Shandong bergetar menahan amarah. “Jangan biarkan malaikat dan iblis berkompromi dalam diri kamu.”
Pada saat itu tiba-tiba pintu ruangan makan terbuka. Wajah lucu seorang bocah muncul di situ, lalu dia berlari ke arah Guru Shandong.
“Kakek, kok lama sekali?” Daestar memeluk erat-erat kaki Guru Shandong.
“Viona!?” Basalto berseru kepada istrinya yang muncul menyusul di balik pintu.
“Dia memaksa…” istri Basalto menyahut lirih.
Guru Shandong balas memeluk Daestar. Gurat-gurat amarah di wajahnya perlahan sirna. Kehadiran Daestar berhasil mencairkan suasana yang mendadak kaku tersebut.
“Aku telah melihat dengan mata kepala sendiri, banyaknya korban jatuh sia-sia pada masa-masa perang antara manusia dan kaum sihir, Nak. Aku tidak akan memintamu untuk mendengarkan ocehan kakek tua ini,” Guru Shandong mengucapkan kata-kata itu dengan dingin, sambil mengusap-usap rambut Daestar. “…. tapi paling tidak, pertimbangkanlah nasib generasi anak kamu nanti.”
Lalu dia menunduk dan menyapa Daestar.
“Baiklah, Jagoan. Kakek tadi sudah berjanji, jadi harus ditepati. Ayo sekarang kita ke perpustakaan kakek. Kakek punya banyak koleksi mainan di sana. Tapi ingat, kita hanya bermain sampai cahaya lilin habis. Jika sampai waktunya, Daestar harus masuk ke kamar untuk tidur.”