Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[My Diary] Induksi

13 April 2016   17:29 Diperbarui: 4 April 2017   17:03 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi gambar dari: dokumentasi Fiksiana Community"][/caption]

 

No. 52. Pical Gadi

-----

Dear Diary,

Air Conditioner sudah disetel kencang tapi peluh masih saja membanjiri kening dan leher istriku. Aku juga sepertinya merasa kepanasan, sekaligus merinding ngeri, mendengar jeritan demi jeritan sang istri di atas pembaringan. Baru kali ini aku melihat manusia bergulat dengan rasa sakit yang luar biasa seperti itu. Aku yang memandangnya saja hampir tak tahan lagi, bagaimana dengan dia, Dear Diary?

Jarum jam dinding di ruang bersalin juga seperti tidak mau pergi jauh-jauh dari angka sepuluh. Padahal sejak check- in siang tadi, rasanya sudah puluhan jam kami habiskan di ruangan ini, menyisakan botol-botol air mineral yang kosong dan setengah kosong, dan rupa-rupa roti untuk pengganjal perut.

Tidak terpikirkan sama sekali untuk mencari makan malam nasi plus lauk pauk seperti biasa, karena pikiran saat ini dipenuhi wajah kesakitan perempuan yang aku cintai, perempuan calon ibu anakku.

Ibu mertua yang juga hadir memang tidak berhenti memberi kata-kata penyemangat sejak tadi, tapi sepertinya tidak kunjung meluruhkan kepedihan yang mendekati titik nadir itu.

Saat seseorang menderita, selalu ada yang bisa disalahkan. Begitu pula saat seseorang kesakitan. Tetapi sayang, kali ini tidak. Tidak ada orang yang bisa dituding, dihardik dan disumpahi untuk melepaskan emosi yang terkurung di ubun-ubun.

Jadi untuk menghibur diri, aku akan menyumpahi tablet seukuran kuku yang tadi dibawa masuk oleh bidan yang bertugas. Setelah tablet itu berpindah ke rahim istriku, dimulailah jam-jam penuh rasa sakit itu.

Induksi. Kosa kata baru yang kudengar hari-hari belakangan ini, akhirnya terjadi juga pada istriku. Tentu tindakan medis itu diambil atas rekomendasi dokter kandungannya. Sebelumnya, beberapa kawan memang pernah bilang kalau dengan cara induksi proses persalinan bisa dipercepat, tapi sakit yang dialami sang ibu juga berkali-kali lipat rasanya.

Andai saja kami bisa bertukar posisi, biarlah, aku rela menggantikannya berpeluh-peluh dan bersakit-sakit di atas tempat tidur. Kasihan melihatnya menderita seperti itu.

Syukurlah, bidan yang bertugas kembali masuk ke ruangan untuk mengecek keadaan istri dan jalan lahir buah hati kami. Tidak lama kemudian, dengan sisa-sisa suaranya, istri meminta sesuatu yang membuat kami kaget.  Bisa jadi permintaan itu dilontarkannya karena bidan berkata kalau proses kelahirannya masih lama, masih beberapa jam lagi. Aku yang jadi penonton saja jadi ngeri membayangkan kesakitan yang masih harus ditanggungnya beberapa jam itu. Bagaimana dengan dirinya yang mengalami sendiri?

“Kenapa mau di-caesar, Ibu?”

“Tidak tahan lagi, Sus!” keluh istri dengan suara pilu dan emosi yang tertahan.

Sepertinya aku pun setuju.

Namun bidan muda itu memberi kata-kata penyejuk dengan mengatakan kondisi anak dan ibu sangat mendukung untuk kelahiran normal. Posisi bayi bagus, ibu dan bayi sehat. Jika seluruh proses yang melelahkan ini tuntas, ibu akan berbangga hati karena telah melewati fase yang lengkap sebagai seorang ibu.

Memoriku terbang kembali melewati beberapa hari terakhir ini. Saat itu, kami sedang berada di kamar prakter dokter guna melakukan kontrol kehamilan yang terakhir. Saat itu pesan-pesan dokter kandungan kurang lebih sama dengan yang disampaikan bidan.

Ah, mengapa nasihat-nasihat yang penting itu tidak tersimpan dengan baik di sel-sel otakku?

Mungkin karena ini pengalaman pertama menjadi seorang calon ayah. Pengalaman yang membuat jantung berdegup lebih cepat dari irama marching band.

Ah, Dear Diary, istriku kembali menjerit kesakitan. Genggamannya terasa semakin kuat dari waktu ke waktu.

 

Waktu. Ya, waktulah sahabat kami saat ini.

Juga beberapa baris doa.

 

-----

Untuk melihat karya peserta yang lain dalam event ini silahkan kunjungi akun Fiksiana CommunitySilahkan bergabung dengan group FB Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun