Induksi. Kosa kata baru yang kudengar hari-hari belakangan ini, akhirnya terjadi juga pada istriku. Tentu tindakan medis itu diambil atas rekomendasi dokter kandungannya. Sebelumnya, beberapa kawan memang pernah bilang kalau dengan cara induksi proses persalinan bisa dipercepat, tapi sakit yang dialami sang ibu juga berkali-kali lipat rasanya.
Andai saja kami bisa bertukar posisi, biarlah, aku rela menggantikannya berpeluh-peluh dan bersakit-sakit di atas tempat tidur. Kasihan melihatnya menderita seperti itu.
Syukurlah, bidan yang bertugas kembali masuk ke ruangan untuk mengecek keadaan istri dan jalan lahir buah hati kami. Tidak lama kemudian, dengan sisa-sisa suaranya, istri meminta sesuatu yang membuat kami kaget. Bisa jadi permintaan itu dilontarkannya karena bidan berkata kalau proses kelahirannya masih lama, masih beberapa jam lagi. Aku yang jadi penonton saja jadi ngeri membayangkan kesakitan yang masih harus ditanggungnya beberapa jam itu. Bagaimana dengan dirinya yang mengalami sendiri?
“Kenapa mau di-caesar, Ibu?”
“Tidak tahan lagi, Sus!” keluh istri dengan suara pilu dan emosi yang tertahan.
Sepertinya aku pun setuju.
Namun bidan muda itu memberi kata-kata penyejuk dengan mengatakan kondisi anak dan ibu sangat mendukung untuk kelahiran normal. Posisi bayi bagus, ibu dan bayi sehat. Jika seluruh proses yang melelahkan ini tuntas, ibu akan berbangga hati karena telah melewati fase yang lengkap sebagai seorang ibu.
Memoriku terbang kembali melewati beberapa hari terakhir ini. Saat itu, kami sedang berada di kamar prakter dokter guna melakukan kontrol kehamilan yang terakhir. Saat itu pesan-pesan dokter kandungan kurang lebih sama dengan yang disampaikan bidan.
Ah, mengapa nasihat-nasihat yang penting itu tidak tersimpan dengan baik di sel-sel otakku?
Mungkin karena ini pengalaman pertama menjadi seorang calon ayah. Pengalaman yang membuat jantung berdegup lebih cepat dari irama marching band.
Ah, Dear Diary, istriku kembali menjerit kesakitan. Genggamannya terasa semakin kuat dari waktu ke waktu.