Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

[Basalto Terakhir] Herra

2 April 2016   07:33 Diperbarui: 2 April 2016   08:10 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi gambar dari: www.dragonmount.com"][/caption]Cerita sebelumnya: [Basalto Terakhir] Orion

 

“Jadi jika yang menimpa Putri Talia ulah penyihir, dia pasti penyihir berilmu tinggi yang berani melanggar ikrar dan berani menghadapi penyihir-penyihir lainnya?”

Orion mengangguk. “Benar, Panglima.”

Kini mereka telah berada di atas menara Emerald. Menara dibiarkan terbuka tanpa atap, sehingga mereka bebas melemparkan pandangan ke segala arah. Pemandangan dari atas situ benar-benar menakjubkan.

Dari kejauhan terlihat hutan pinus berderet-deret, nampak seperti pasukan berzirah hijau yang siap berangkat perang. Di sisi lain, barisan-barisan ladang milik penduduk mirip permadani hijau-cokelat yang dihamparkan di atas dataran. Desa-desa terdekat dan kepulan asap dapurnya juga nampak dari atas sini. Sementara itu angin berhembus cukup kencang, membuat rambut Orion berkibar-kibar.

“Jadi sekali lagi, satu-satunya cara untuk membuatku yakin adalah aku harus melihatnya sendiri,” sambung Orion.

Panglima Thar mengangguk.

“Kami berterima kasih atas kebaikan hati anda, Tuan Orion. Kami hanya perlu beristirahat sebentar, Tuan. Setelah itu kita bisa langsung memulai perjalanan.”

“Wah, maaf, Panglima. Aku sampai lupa memberitahu satu hal. Sepertinya kita akan menempuh perjalanan terpisah. Aku akan berangkat lebih dulu, kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi.”

“Jangan begitu, Tuan. Kami bisa dimarahi Raja habis-habisan. Baiklah, aku akan meminta prajurit untuk segera bersiap-siap dan memeriksa keadaan kuda-kuda.”

Orion tersenyum lagi.

“Aku  tidak akan kesana dengan menunggang kuda, Panglima. Aku harus segera sampai petang ini, jadi aku akan menunggang Herra.”

“Herra…?”

“Ya, dia naga peliharaanku.”

“Naga…?”

Orion tidak langsung menjawab. Dia beranjak mendekati tembok pembatas dan bersiul panjang dari situ.

Tak lama kemudian, terdengar kepakan sayap raksasa dan deru udara dari arah bawah. Lalu seekor naga betina berwarna hitam pekat mendarat mulus di tengah-tengah menara. Debu-debu berterbangan dari bawah pijakan kakinya.

Panglima Thar menatap tak percaya.

“Aku sudah lama sekali tidak melihat hewan raksasa ini. Sebagian orang malah berpikir mereka ini sudah punah, Tuan.”

“Kami para penyihir membiarkan manusia non-sihir harus tetap berpikir seperti itu agar tak ada lagi yang mengusik kehidupan mereka. faktanya, mereka tinggal di pulau-pulau kecil jauh dari pantai-pantai Gopalagos. Sebagian kecil dari mereka berhasil dijinakkan dan menjadi kawan-kawan kami.”

Orion mendekat dan mengelus-elus leher Herra. Herra pun meraung pelan, seperti menyetujui perkataan tuannya, Orion.

Dari belakang, Koppo, pemuda berkepala plontos muncul membawa sebuah tas kain.

“Sudah siap semua, Koppo?” tanya Orion saat Koppo menyerahkan tas kain tersebut.

“Sudah, Guru. Semua bahan-bahan yang anda pesan sudah saya siapkan dalam tas ini.”

Orion melirik Panglima Thar yang menatap penasaran ke arah tas tersebut.

“Untuk berjaga-jaga, aku meminta Koppo menyiapkan beberapa bahan ramuan yang sepertinya akan sulit kita dapatkan di Istana Zatyr nantinya.”

Panglima Thar mengangguk.

“…dan sepertinya aku akan berangkat sekarang, Panglima. Mohon maaf. Silahkan mengatur keperluan anda dan rombongan, nanti Koppo akan membantu.”

Panglima Thar menunduk memberi hormat.

“Sekali lagi, terima kasih, Tuan Orion. Kami juga akan segera berangkat.”

Orion lalu memeriksa tali dan simpul-simpul pelana khusus yang dipasang di punggung Herra. Sepertinya sudah terpasang sempurna.

"Mari berangkat, Herra!" serunya.

Herra pun merendahkan punggungnya, membiarkan cahaya matahari membuat sisik-sisiknya menjadi hitam berkilauan.

Orion menyampirkan tas kain pemberian Koppo lalu sigap Orion meloncat naik ke atas punggung Herra. Dia menyapu tengkuk Herra. Kemudian berteriak nyaring menyerukan beberapa kata perintah.

Herra pun mendongak gagah lalu berteriak lantang ke awan-awan.

 

--------

(bersambung)

Pertama kali ditayangkan di Note FB Penulis dalam rangka event

#TantanganMenulisNovel100HariFC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun