[caption caption="Ilustrasi gambar dari: www.90gens.com"][/caption]
[Minggu pertama: terinspirasi puisi]
Aku menatap sedih undangan biru langit di atas meja. Dalam senyummu, aku melihat kesedihan yang sama. Mungkin sedang merindu, mungkin juga sedang menyesali waktu.
“Pernikahan ini sebuah transaksi yang keji, Lex,” katamu di ujung sebuah sore. “Orang tuaku akan terbebas dari utang tujuh turunan dengan pernikahan ini.”
Di antara uap kopi yang tidak pernah sama lagi, memoriku menjejak getir pada kisah-kisah kita.
Ingatkah kamu pada pohon cinta kita? Masih ingatkah kamu pada jembatan cinta kita? Pada lagu cinta kita? Pada petang-petang cinta kita?
Ah, mungkin kamu terlalu sibuk untuk mengingat semua itu kini. Dua hari lagi kamu akan menempuh “bahagia” dengannya. Bukan denganku, lelaki yang hanya bisa menjanjikan banyak cinta dan sedikit masa depan.
“Aku selalu mencintaimu, Reni. Kamu tahu itu,” sahutku, menamatkan kisah-kisah kita dengan nelangsa.
------
Braakk…!