[caption caption="Ilustrasi gambar dari: writosophy.com"][/caption]
Kita sampai di tempat terakhir untuk memandang jiwa-jiwa rehat sejenak, melepas penat duniawi yang dipanggul berjam-jam tanpa boleh lelah.
sejenak saja….
Segala topeng dilepas sudah, biarkan malam mencumbu setiap jiwa yang telanjang, membawanya menari-nari di atas bulan purnama.
_____
Puisi di atas adalah penggalan puisi berjudul “Ujung Malam” yang saya publish kurang lebih setahun lalu. Sengaja dipajang di awal tulisan karena “proses produksi” puisi ini berkaitan dengan tulisan saya selanjutnya.
Seingat saya saat menulis puisi ini saya baru saja menyelesaikan tugas kantor yang saya bawa pulang ke rumah. Waktu itu malam sudah terlewati separuhnya. Rasa letih, penat dan kantuk campur aduk jadi satu. Saat mengetik kata demi kata, saya pun mesti berjuang setengah mati menjaga mata saya tetap terbuka. Tidak ada kiat-kiat khusus untuk menulis saat itu. Saya membiarkan kata-kata mengalir dengan alami, lalu saya membaca ulang dari awal untuk mengedit ejaan dan beberapa perbaikan diksi.
Setelah itu puisi saya publish dengan sukses di kanal Fiksiana.
Saat bangun pagi beberapa jam kemudian, saya lihat puisi ini sudah disundul jadi headline article oleh admin. Selama menulis di K, puisi saya belum pernah headline jadi senang sekali rasanya saat itu.
Saya kurang pandai menulis puisi, beda dengan beberapa kawan fiksianer yang lain. Tapi sepakat dengan satu hal bahwa emosi adalah komposisi terbesar dari sebuah puisi.
Dalam buku Be A Briliant Writer, Afifah Afra menekankan bahawa menulis prosa adalah dominasi otak. Sementara untuk menulis puisi, hatilah yang dominan berbicara. Berdasarkan pengalaman menulis puisi di atas saya pun mengamini penulis novel Bulan Mati di Javasche Oranje ini.
Sebagaimana karakter karya sastra lainnya, tentu masih ada komposisi puisi yang lain selain emosi. Misalnya kepadatan kata, metafora, rima, diksi, ide atau pokok pikiran dan imajinasi. Tapi emosi akan merangkai semua komposisi tersebut untuk menghasilkan sebuah puisi yang benar-benar kuat dan membekas dalam hati pembacanya.
Jadi ibarat meracik secangkir kopi, komposisi lain itu ibarat gula pasir dan bubuk kopi, sedangkan emosi adalah air panas yang akan melarutkan semua untuk menghasilkan secangkir kopi mengepul yang nikmat rasanya. Jika gula pasirnya ternyata kurang, atau bubuk kopinya berlebih, rasa kopinya mungkin lebih pahit, begitu pula sebaliknya. Tapi minuman itu tetap akan disebut kopi, bukan?
Berbeda dengan kopi plus gula dengan sedikit air panas, bahkan tanpa tanpa air panas sama sekali. Kita tidak bisa menikmati kopi tersebut sebagaimana mestinya.
Begitu pula dengan puisi yang kita tulis. Bait yang tidak beraturan, metafora yang minim, bahkan tanpa rima sekalipun, puisi tetap bisa dinikmati jika diisi dengan emosi yang kuat.
Nah, dengan demikian momentum paling bagus untuk menulis puisi adalah pada saat emosi kita sedang memuncak karena pada saat itulah hati lebih mendominasi dibanding rasio atau logika atas diri kita. Saat itu, ambillah kertas, pena, gawai atau media apapun yang bisa digunakan untuk menulis. Tulis atau ketik apa saja yang sedang kita rasakan. Entah itu kegembiraan, perasaan rindu, jatuh cinta, kekecewaan atau bahkan amarah. Saat itu kata-kata akan mengalir seiring perasaan yang kita luapkan dari dalam hati. Tak usah berpikir panjang dengan nasib puisi kita di mata pembaca nanti. Lupakan sejenak karakteristik puisi yang lain. Kita akan mengedit dan menyempurnakannya pada waktunya nanti.
Setelah emosi stabil kembali, berarti sampai waktunya kita untuk mengedit tulisan hasil luapan perasaan kita. Saat ini mestinya rasio dan pikiran kita telah berfungsi dengan baik kembali, sehingga puisi kita bisa dipermak dengan baik pula.
Tak perlu bekerja banyak jika puisi itu untuk diri sendiri saja. Namun jika akan dikonsumsi khalayak, berarti kita harus bekerja lebih. Mulai dari memeriksa ejaan, tanda baca, sampai membuang bagian-bagian puisi yang tidak perlu dan menambal kekurangan disana-sini. Saat ini kita juga sudah bisa menambah style puisi seperti membangun rima dan memperbaiki diksi yang digunakan.
Bukan berarti saat emosi kita sedang stabil kita tidak bisa memproduksi puisi. Bisa saja. Namun, seperti sebuah lagu, puisi akan lebih punya “jiwa” saat kita menuliskannya dari hati bukan dari pikiran semata-mata.
_______
Hanya pada saat itulah mereka lepas dari perangkap kemunafikan untuk mengecup damai hakiki.
Hanya pada saat itulah mereka melepas kefanaan untuk mencicipi keabadian bila Sang Tuan memanggil pulang.
.
Mungkin pagi akan datang membuyarkan kontemplasi indah ini, memaksa setiap kuk terpasang dan setiap topeng dikenakan kembali.
Tapi saat siklus bumi paripurna, setiap potongan kontemplasi akan kembali dirangkaikan
keping demi keping.
.
Lalu kita sampai di tempat terakhir untuk menghitung setiap siklus yang kita habiskan untuk bersyukur dan mengutuk kehidupan.
sejenak saja
selagi kita masih diberi kesempatan….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H