Malam ini bulan hampir purnama dan aku hampir lelah mencarimu. Untunglah aku bertemu peri malam yang baik hati. Dia menunjukkan jalan menuju ke bulan lalu memberiku ramuan dalam sebuah botol kecil untuk aku teguk.
Setelah menghabiskan isi botol, aku merasa seringan kapas. Aku pun menyusuri langit malam dengan awan-awan di kanan dan kiriku, dan menjadikan mereka pijakan untuk melayang lebih tinggi. Hingga pada akhirnya aku sampai pada permukaan bulan yang indah.
Dari atas sini bintang-bintang nampak lebih merona. Kabut kosmis bergerak seperti kawanan burung di musim peralihan. Ada juga aurora borealis yang mestinya hanya nampak dari kutub utara. Aku tiba-tiba merasa begitu betah di atas sini.
Lalu pandanganku tertuju pada pesisir bulan, kamu duduk termangu menatap awan-awan di bawah sana. Aku menghampirimu, lalu sebaris senyum pun tersungging di bibirmu.
“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyaku
Kamu menatapku malu-malu.
“Menunggumu, tentu saja. Mengapa begitu lama?”
Giliran aku yang tersipu.
Pertanyaan itu aku jawab dengan menggandeng tanganmu mendekati tepian bulan, mencari tempat bermesraan sambil menyaksikan semesta.
Kita lalu bertukar kisah tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. Sesekali kita memandang bumi kita di bawah sana. Kamu tertawa lucu memandangi lelaki yang membawa boneka sebesar tubuhnya ke beranda rumah gadis yang dicintainya, lalu aku terpesona pada sepasang kekasih, kakek dan nenek yang sedang memadu cinta di bangku taman. Kamu menunjukkan salah satu rasi bintang yang mengukir inisial nama kita, lalu aku menunjukkan awan yang membentuk gambar sepasang hati.
Aku merasa semesta benar-benar sedang berpihak pada kita, sehingga keberanianku membuncah.
Aku pun mengeluarkan sebuah cincin perak, meraih jemarimu dan menyematkan cincin itu sambil berkata,
“Maukah…. Maukah kamu menjadi…. Ibu dari anak-anakku?”
Kamu terkejut, tapi mata beningmu tidak bisa menyembunyikan bahagia yang hendak melesak keluar dari dalam hatimu.
“Maukah kamu?”
Kamu memalingkan wajah sambil mengangguk malu-malu.
“Katakan,” sahutmu. “Katakan berapa anak-anak yang kau inginkan dariku?”
Aku tersenyum bahagia, kamu juga.
Lalu tiba-tiba aku merasa pijakanku goyah. Seperti ada angin kencang yang berusaha menghalau tubuhku jatuh.
“Ah, waktunya hampir habis….,” ucapmu.
“Waktu apa?”
Kamu menatapku heran.
“Apa peri malam tidak memberitahumu? Ramuan itu hanya bertahan selama 245 tahun. Setelah itu kita akan kembali menjadi manusia biasa…..”
“245 tahun?”
Kamu mengangguk.
“Apa kita sudah selama itu berada di sini?”
“Iya, dan tidak lama lagi kita berdua akan terjatuh kembali ke bumi kita. Genggam tanganku sayang, jangan biarkan aku lepas darimu.”
Aku pun menggenggam kedua tanganmu erat-erat, sesaat sebelum permukaan bulan bergetar hebat. Bulan seperti sedang dilanda gempa bumi dahsyat, lalu kita berdua pun terjatuh…
Melayang….
Menerobos atmosfir….
Langit berputar-putar….
Tapi aku tetap dan selalu akan menggenggam tanganmu….
************
Aku membuka kedua kelopak mata saat mendengar kicau burung-burung pagi di luar sana. Aroma lavender dari pengharum ruangan tercium samar.
“Selamat pagi, sayang….,” ucapmu.
Kamu lalu mengelus dadaku mesra.
“Selamat hari kasih sayang…”
Aku tersenyum. Indah bukan? Mengawali hari dengan mendapatimu terbaring manis di sampingku sebagaimana seharusnya kisah kita.
________________________________
Makassar, malam valentine 2015
ilustrasi gambar dari: www.pinterest.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H