Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Malam Pertama yang Sedih

30 Januari 2016   21:44 Diperbarui: 30 Januari 2016   22:10 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahagia

Itu kata sakti yang mestinya aku rasakan hari ini dan semakin terasa saat rembulan memanjat malam, menebar serbuk sihir di atas ranjang pengantin beraroma melati. Gaun dan kebaya sudah tersampir kembali ke pelukan almari jati. Sisir menata rambut ikal sepinggul sudah kualunkan belasan kali. Tapi mengapa mas Purba belum juga datang memelukku? Dan mengapa aku merasa……. tidak sepenuhnya bahagia?

Merasa jawabannya datang sebentar lagi, aku menajamkan pendengaranku.

Pintu kamar diketuk. Aku beringsut dan memuntir kunci pintu.

Raisa, adik iparku masuk dengan mata memerah karena linangan air mata.

“Mbak, Mas Purba mbak! Mas Purba pergi….!!”, isaknya lalu memelukku. Aku pun melarutkan diri dalam pelukannya. Aku berusaha membendung air mataku, tetapi tak berdaya.

Inilah yang aku takutkan.

Purba menikahiku bukan karena cinta, walaupun aku mencintai pria itu lahir dan batin, dalam sakit dan senang, dalam untung dan malang. Pernikahan ini terjadi hanya karena dia ingin memenuhi permintaan terakhir almarhum ibunya. Purba punya seorang gadis lain di luar sana, aku tahu. Juga aku tahu, keluarga Purba termasuk mendiang ibunya tidak pernah setuju dengan hubungan itu.

“Aku akan memenuhi permintaan ibu untuk menikahimu, Laksmi! Tapi hanya sampai disitu, jangan sekali-kali kamu berharap lebih. Aku janji!!,” ucapan ketus dari bibir mas Purba itu terngiang kembali.

Akhirnya seiring malam yang semakin larut, Raisa tertidur di kamarku. Guruh bersahutan di luar sana pertanda badai akan segera menyapa. Aku menarik selimut, menyelimuti tubuhku dan tubuh Raisa di sampingku.

Tiba-tiba HP-ku berbunyi, jantungku seketika berdegup lebih kencang.

Itu panggilan dari Helena, salah satu kawan mas Purba. Eh, dia juga terdengar sedang terisak sedih. Tidak adakah orang yang berbahagia malam ini?

“Laksmi,….. Purba kecelakaan. Dia… dia tidak tertolong lagi,…”

Aku tercekat.

“Aku….. aku di Rumah Sakit Grestelina….,”

Aku merinding seketika. Mas Purba sepertinya benar-benar membuktikan janjinya.

_________________________________

ilustrasi gambar dari: www.wcyb.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun