Aku masih melihatnya. Di atas kertas, di atas meja, lalu menitik ke lantai, darah merah segar. Darah itu berasal dari pangkal pergelangan tanganku yang kini tergeletak pasrah menerima nasib.
Pandanganku dan kesadaranku mulai memudar. Lalu suara hentakan terdengar sayup-sayup, apakah aku telah terbanting ke lantai? Entahlah.
Kini semuanya jadi gelap.
*******
Kelam…
Senyap…
Lalu kegelapan panjang buyar. Larik-larik cahaya memaksaku membuka seluruh pelupuk mata. Ada bidadari di depan wajahku. Apakah aku berada di surga?
“Surga…, Surga dari Hongkong!!”
Bidadari itu malah menyahut judes. Aku menajamkan penglihatanku. Wajahnya seperti sangat familiar… Oh, ya iyalah, dia kan Keke, tetangga kost-ku.
“Kamu tuh kenapa sih?!” lanjutnya. “Ditinggal kawin pacar memang sakit, tapi tidak perlu sampai bunuh diri juga kali! Jadi cowok kok cengeng amat?!”
Aku tertohok.
Kata-katanya benar. Mengapa aku begitu pendek iman? Aku memang sangat mencintai Lusia, tapi pengkhianatannya mestinya tidak membuatku jadi begitu lemah.
“Ton… kamu ingat aku kan??”
“Iyalah, bawel! Mana bisa aku lupa sama bibir dower kamu?”
Bukannya kesal, Keke malah memelukku.
“Untung aku gak terlambat, Ton. Tahu gak? Kamu hampir dua hari gak sadar.”
Aku baru sadar sudah pingsan selama itu. Juga baru sadar, cinta telah membutakanku, sehingga tidak melihat di mata Keke ada cinta sebesar itu untukku.
______________________________________
ilustrasi gambar dari: enrichbykennyrich.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H