Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Power of "Bersyukur"

10 Januari 2016   14:13 Diperbarui: 10 Januari 2016   14:31 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersyukur, mudah atau sulit dilakukan? Sepertinya mudah dilakukan. Lalu pertanyaan berikutnya sering atau jarang dilakukan? Jika bersyukur itu mudah, mestinya sering dilakukan, bukan?

Bukankah dalam hidup kita ada begitu banyak berkat serta nikmat yang dikaruniakan Tuhan? Hidup itu sendiri adalah sebuah karunia akbar bagi kita. Kemudian ada nikmat kesehatan, keberhasilan, cinta dari keluarga maupun kawan-kawan, penghasilan, kepercayaan dan masih banyak lagi nikmat lain yang dapat menjadi alasan kita untuk bersyukur.

Memang saat kita berada dalam keberhasilan, syukur relatif lebih mudah dilakukan. Lalu bagaimana saat kita berada dalam situasi terpuruk? Mengalami kegagalan, terdera penyakit, mengalami kerugian usaha dan sejumlah situasi sulit lainnya. Bisa saja rasa syukur berubah seketika menjadi  keluh kesah, kecaman atau malah sumpah serapah.

Bersyukur adalah Paradigma

Jalan hidup, keadaan kita saat ini, atau beberapa referensi menyebutnya nasib, adalah akumulasi proses kasat mata dan tak kasat mata akibat pilihan-pilihan yang kita ambil pada masa lalu. Nasib sangat ditentukan oleh watak atau karakter kita. Karakter adalah bentukan dari sejumlah kebiasaan yang kita ambil pada masa lalu. Kemudian kebiasaan adalah akumulasi dari perilaku yang kita lakukan berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan perilaku adalah implementasi dari cara berpikir atau paradigma kita.

Contoh kecil, cara seseorang berpikir mengenai waktu akan menentukan bagaimana penghargaannya terhadap waktu. Implementasi perilaku yang kemudian terlihat adalah apakah dia sosok yang on-time atau kerap terlambat. Jika perilaku terlambat telah menjadi perilaku yang terpola dan berlangsung terus menerus, maka perilaku ini akan membentuk karakter orang yang bersangkutan. Orang-orang di sekitarnya pun akan memandangnya sebagai pribadi yang malas atau kurang disiplin. Ujung-ujungnya karakter ini akan mempengaruhi jalan kehidupannya. Bisa jadi promosi karir tidak kunjung datang, atau rekan bisnis mesti berpikir berkali-kali terlebih dahulu sebelum deal dengan yang bersangkutan, dan akibat-akibat lainnya.

Jadi jika orang tersebut ingin mengubah nasibnya, dia bukan merubah karakternya pertama kali. Kita tidak boleh menyalahkan karakter, karena  karakter adalah bentukan dari hal-hal lain dalam dirinya. Yang harus diubah pertama-tama adalah cara berpikir atau paradigma mengenai waktu yang kemudian akan mengubah perilakunya, kebiasaannya lalu karakternya.

Kembali kepada topik kita. Bersyukur.

Bersyukur adalah salah satu implementasi dari paradigma yang positif. Jika kita mengalami situasi yang kurang baik, kita bisa memilih paradigma. Mengutuk keadaan dan  mencari orang-orang atau hal-hal yang bisa disalahkan, atau kita bisa tetap bersyukur dengan mencari sudut pandang positif dari situasi tersebut.

Misalnya penawaran bisnis kita ditolak oleh calon klien. Kita bisa menanggapinya secara negatif dengan menyumpahi calon klien dan menyalahkan staf atau bisa menanggapinya secara positif dengan memperbaiki cara presentasi atau berinovasi terhadap produk-produk kita. Kita mesti bersyukur karena lewat penolakan tersebut kita bisa melihat dan memperbaiki satu lagi kekurangan dalan usaha kita.

Hampir setahun lalu, anak saya yang saat itu masih berumur lima bulan divonis dokter terkena DBD dan harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Pada hari-hari pertama, saya dan istri kerap memandang anak kami yang terbaring lemah di atas tempat tidur perawatan dengan pikiran yang berkecamuk. Dua kali sehari, suster petugas lab harus mengambil sampel darah anak saya. Untuk orang dewasa seperti kami saja, prosedur itu cukup membuat tidak nyaman dan rasa sakit. Bagaimana dengan bocah lima bulan?  Setiap kali pengambilan darah, anak kami menangis histeris. Akhirnya saya perhatikan anak itu agak trauma melihat petugas lab masuk ke kamar perawatan. Petugas baru muncul di ambang pintu dia langsung menangis sejadi-jadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun