Didera insomnia, Pak Tua pun mulai menghitung bintang di langit Desember. Walaupun yang terjadi kemudian, setiap hitungannya bertambah, matanya malah semakin berbinar. Setelah hitungan ke-seratus dia beranjak ke balkon kamar, agar lebih leluasa memandang langit malam.
“Ah, rasi sagitarius di langit utara,… indah nian,” bisiknya. Dia menjulurkan tangan ke langit seolah ingin memetik salah satu bintang yang berkelap-kelip disana. Ajaib, diantara telunjuk dan jempolnya kini tersemat sebuah bintang.
Bintang itu merekahkan cahayanya, lalu perlahan meredup.
“Kumohon, lepaskan aku!….”
Pak Tua terkejut, lalu mengusap jenggot kelabunya.
“Kamu bisa berkata-kata rupanya….,” sahut Pak Tua pada bintang mungil di jemarinya itu.
“Tentu saja. Pak Tua, aku tahu cara supaya anda cepat terlelap malam ini…”
“Oh ya?”
“Jangan menghitung diri kami, Pak Tua. Itu hanya pengantar tidur anak-anak. Cobalah menghitung bulan kali ini…”
Pak Tua terkekeh. “Bukannya menghitung bulan mudah sekali?”
“Cobalah, Pak Tua. Tapi jangan lupa letakkan aku kembali di antara kawan-kawanku.”
Pak Tua menyanggupi. Dia pun mengembalikan bintang mungil, lalu mulai menghitung rembulan. Sepertinya berhasil. Penat di kepalanya perlahan-lahan hilang. Matanya memberat, lalu dia pun tenggelam dalam mimpi sembari tersenyum manis.
Bintang-bintang ikut tersenyum bahagia. Malam ini, malam bulan mati berhasil mengantar Pak Tua dalam tidur lelapnya.
______________________
ilustrasi gambar: dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H