Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Shortcut

12 November 2015   19:02 Diperbarui: 12 November 2015   19:04 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengguna komputer paham kalau shortcut itu adalah file yang dipasang desktop sebagai jalan pintas menuju ke file atau program lainnya, yang biasa tersimpan rapi pada direktori komputer.

Kita juga sering menggunakan jalan pintas untuk mempersingkat jalur perjalanan, atau menghindari kemacetan yang biasa terjadi pada jalan utama. Di sekolah dulu, pada pelajaran-pelajaran tertentu misalnya Matematika, kita juga sering diajar cara agar membuat perhitungan lebih cepat diselesaikan. Dari rumus yang jika dijabarkan bisa jadi lima atau enam baris, berkat jalan pintas bisa jadi tersisa tiga baris saja.

Dengan prinsip yang sama, aplikasi pada komputer juga dirancang untuk semakin mempersingkat jalur pekerjaan kita. Jika dulu menyortir database secara alfabetical mungkin bisa jadi pekerjaan yang berat dan lama, saat ini berbekal formula-formula tertentu pada MS Excel saja, semua bisa dilakukan dalam sekejab.

Pendek kata, dalam beberapa hal jalan pintas sangat membantu kita.

Namun seperti halnya pedang bermata dua yang jika tidak hati-hati digunakan malah bisa berbalik melukai kita, jalan pintas juga punya energi merusak jika tidak digunakan dengan bijak.

Jalan pintas seperti apa itu?

Jalan pintas menjadi kaya

Ada beberapa proses dalam kehidupan yang memang membutuhkan tahapan-tahapan tertentu, agar manusia yang melakoninya bisa melangkah tahap demi tahap. Gunanya untuk melatih dan mempersiapkan diri melangkah ke setiap tahap berikutnya. Nah, dari kelas menengah ke bawah untuk menjadi kaya mendadak, atau dari jutawan menjadi milyuner mendadak  rasanya sukar, kecuali mungkin ketiban harta warisan dalam jumlah besar. Untuk mewujudkan obsesinya, sebagian orang pun menempuh jalan pintas. Dan rasa-rasanya, jalan pintas untuk menjadi kaya itu selalu identik dengan perbuatan-perbuatan tidak jujur.

Maka muncullah fraud, korupsi, mark up, menjadi mafia, atau cara-cara lain yang jauh dari norma dan etika. Ini juga jalan pintas namun berbahaya, karena kita sedang mempertaruhkan harga diri kita sendiri. Kecuali kita tidak peduli lagi dengan harga diri. Hanya aneh saja, masak orang punya kekayaan buanyak namun dirinya sendiri dihargai murah sekali.

Jalan pintas menjadi terkenal

Ada juga orang-orang yang seperti ini. Pelakunya adalah mereka yang merasa membutuhkan ketenaran  untuk menunjang profesinya atau mereka yang terobsesi untuk menjadi terkenal. Jika terkenal karena karya atau kebaikan yang dihasilkan, itu yang kita harapkan. Namun sekali lagi, hal tersebut adalah proses yang membutuhkan tahapan-tahapan tertentu. Orang-orang yang tidak sabar dan ingin menempuh jalan pintas agar segera sampai pada ujung jalan, ketenaran, akhirnya melakukan berbagai macam cara. Para pesohor yang masih minim liputan pun membuat sensasi agar memancing perhatian awak media dan masyarakat. Cerai, kawin, selingkuh, cerai, kawin, selingkuh, cerai, kawin, selingkuh. Kalau sudah bosan, ya Selingkuh, cerai, kawin, selingkuh, cerai, kawin.

Politisi baru yang butuh pamor berani bersuara lantang menggugat siapapun, kendati ucapannya lebih banyak fitnahnya daripada manfaatnya demi menggalang perhatian. Beberapa orang lainnya berbuat hal yang lebih nyeleneh lagi, mengunggah foto topless, mengunggah foto hunting hewan yang dilindungi, bertengkar di sosial media agar mendapat perhatian masyarakat. Pada akhirnya mungkin mereka sampai ke ujung jalan yang mereka inginkan, namun dengan memilih jalan pintas seperti itu kita sedang mengorbankan bagian diri kita yang lain. Bisa jadi itu kepercayaan, rekan-rekan atau juga harga diri.

Pada akhirnya, kita akan memilih jalan hidup kita masing-masing. Bukankah hidup itu adalah seni memilih? Di antara pilihan-pilihan itu kita akan sering menemukan ujung jalan pintas-jalan pintas yang bisa membuat perjalanan utama kita menjadi sedikit banyak lebih singkat. Wewenang memilih sepenuhnya ada pada diri kita. Namun kita tidak boleh lupa, wewenang dan tanggungjawab adalah dua hal yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Seperti uang koin yang mungkin saat ini terselip di dompet anda.

Salam shortcut.  

                                                              

___

Catatan: pagi pengguna komputer, shorcut untuk menyimpan artikel ini adalah tekan tombol Ctrl + S pada keyboard anda.

ilustrasi gambar dari: www.ameaningfulexistence.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun