Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Lima Kesalahan yang Dilakukan Orang Tua dalam Mendidik Anak

9 November 2015   07:47 Diperbarui: 9 November 2015   08:55 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi gambar dari  www.munchkinfun.com "]

[/caption]Saya beruntung jadi salah satu peserta Seminar bertajuk “Siap Cerdaskan si Kecil Sejak Dini” yang diselenggarakan oleh Morinaga Sabtu (7/11) lalu. Seminar yang bertempat di Phinisi Ballroom hotel Clarion Makassar ini diikuti oleh lebih dari 800 peserta. Menariknya, para ayah yang ikut, termasuk saya sendiri hanya sekitar 20-an saja. Akhirnya pada salah satu games icebreaking, dimana peserta diminta membentuk kelompok-kelompok kecil secara spontan dan setiap kelompok mesti dihuni minimal satu ayah, kami pun jadi rebutan kayak kacang goreng gratis.

Malah beberapa kelompok ibu-ibu yang tidak kebagian “ayah”, sampai menarik paksa kru lelaki Morinaga di sekitar ballroom untuk dijadikan pelengkap kelompok. Ada-ada saja.

Beruntungnya saya, karena dua pembicara yang dihadirkan adalah expert di bidangnya masing-masing. Pembicara pertama adalah Dr.dr. Ahmad Suryawan SpA(K) yang biasa dipanggil dr. Wawan. Beliau adalah dokter spesialis tumbuh kembang anak. Konon hanya ada 60 dokter di seluruh Indonesia Raya ini yang memiliki spesialisasi itu. Makanya ada orang tua yang mesti antri sampai 3 bulan untuk bertemu dan konsultasi. Dokter Wawan membawakan materi mengenai “1.000 Hari Tak Tergantikan Untuk Kecerdasan Anak”.

Sedangkan pembicara kedua adalah Dr. Rose Mini. A.P., M.Psi atau yang biasa kita kenal dengan panggilan Bunda Romi. Saya yakin kita sudah sangat familiar dengan sosok yang satu ini, karena beliau kerap tampil di layar kaca kita. Kali ini Bunda Rose didapuk untuk membawakan materi “Kiat Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak”.

Seminar tambah “berwarna”, karena dipandu oleh Moderator Adrian Maulana, model dan presenter yang saat ini memandu acara Indonesia Morning Show di Net TV.

[caption caption="Peserta seminar didominasi oleh para ibu. Gambar: dokpri"]

[/caption]

Sepanjang seminar yang hanya berdurasi kurang lebih 5 jam itu, banyak wawasan baru yang didapatkan peserta mengenai kiat-kiat mengawal tumbuh kembang anak, khususnya yang masih di bawah usia 5 tahun. Dokter Wawan dan Bunda Romi membawakan materi secara prima tentu dengan style masing-masing. Pada sesi-sesi interaksi atau tanya jawab dengan para pembicara, peserta juga nampak antusias. Banyak yang malah tidak kebagian giliran karena keterbatasan waktu.

Untuk membagikan seluruh materi dalam artikel pendek ini sepertinya tidak akan memadai. Namun ada beberapa point menarik yang bisa saya rangkum dari penjelasan kedua pembicara, baik pada sesi materi maupun pada sesi tanya jawab. Ternyata selama mendidik anak, ada beberapa kesalahan yang biasa dilakukan orang tua. Kesalahan-kesalahan itu nampak sepele namun ternyata bisa membawa pengaruh besar pada tumbuh kembang dan kecerdasan emosi (EQ) anak.

Lima kesalahan yang biasa dilakukan orang tua dalam mengawal proses tumbuh kembang anak sebagai berikut:

1. Memaksakan anak belajar melebihi kapasitasnya.

Seringkali anak-anak yang dijejali dengan sejumlah pelajaran yang melebihi kemampuan kognitifnya. Hal ini biasa terjadi karena obsesi orang tua semata. Padahal otak anak-anak, khususnya pada usia dibawah lima tahun berkembang berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Orang tua biasa memaksa anak-anak belajar melangkahi tahapan-tahapan tersebut. Misalnya anak-anak yang semestinya baru belajar mengenal pola sudah dipaksa untuk belajar mengurutkan bilangan.

Atau anak yang baru belajar  motorik halus seperti memegang pensil sudah dipaksa untuk menulis kata. Jika pada anak usia sekolah pelajaran yang diberikan Matematika misalnya, pada anak usia dua tahun pelajaran yang sesuai adalah mengurutkan mainannya mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Ini adalah contoh bagaimana mengajar anak secara bertahap. Celakanya, banyak institusi pendidikan kita juga yang berpikir serupa. Ada Sekolah Dasar yang tidak menerima anak kelas 1 SD yang belum bisa baca tulis. Padahal pelajaran ini memang mesti didapatkan pada usia kelas 1 SD, bukan melempar tanggungjawab itu pada playgroup atau Taman Kanak-kanak.

2. Tidak memiliki pola asuh melekat

Peran dan tanggung jawab orang tua adalah mengasuh, mendidik dan menjadi rekan bagi anak. Orang tua seringkali melalaikan tanggungjawab yang kedua dan ketiga. Pola asuh melekat adalah orang tua menjadi pendamping sekaligus pendidik bagi anak-anak. Bukan sekedar memindahkan tanggungjawab tersebut pada gadget, televisi, atau mainan. Orang tua berpikir saat anak sudah tenang dan hanyut dengan dunianya sendiri masalah selesai. Padahal sebagai orang tua yang baik, kita mesti mendampingi aktivitas anak dan menjelaskan segala yang terjadi di dunianya secara utuh tentu disesuaikan dengan daya tangkap anak. Misalnya, saat memberikan anak mobil-mobilan, kita bisa menjelaskan kalau mobil itu punya empat roda, gunanya untuk mengangkut orang dan lain-lain. Saat menemani anak menonton TV kita mulai bisa menjelaskan tentang moral kepada anak melalui acara yang ditonton bersama. Mana yang baik dan mana yang kurang baik. Ini contoh-contoh pola asuh melekat.

3. Membandingkan anak dengan anak yang lain 

Setiap anak itu unik dalam hal kecerdasan dan kecepatan tumbuh kembangnya. Ada anak yang memang dikaruniai kemampuan untuk belajar berjalan lebih cepat, ada anak yang belajar bicaranya lebih cepat, ada anak yang cepat bersosialisasi dan lain-lain. Peran orang tua adalah melakukan deteksi terhadap proses-proses tumbuh kembangnya, dan melakukan stimulus untuk mempercepat proses tumbuh kembang yang lebih lambat datangnya.

Bukan malah stress dan bingung karena serta merta membandingkan kemampuan anak dengan anak tetangga. Tapi memang jika orang tua menemukan masalah yang serius, seperti misalnya anak belum mampu berbicara padahal sudah berusia 5 tahun, maka memang harus dikonsultasikan dengan ahlinya.

4. Tidak menjadi contoh yang baik 

Anak adalah peniru yang handal. Ironisnya, orang tua biasa kurang menyadari hal itu. Ada orang tua yang heran, mengapa anaknya emosional, ketus dan suka berbicara pada kakak atau adiknya dengan nada tinggi. Padahal dia lupa saat berinteraksi dengan anak atau orang lain di dekat anak, orang tua juga melakukan hal serupa. Jika anak-anak tiba-tiba melakukan hal-hal aneh, seperti misalnya melempar barang-barang saat marah, dan orang tua merasa tidak pernah melakukannya, bisa jadi anak menirunya dari orang-orang di sekitarnya seperti tetangga, kawan bermain, televisi atau bahkan orang yang diberi kepercayaan untuk mengasuhnya. Jadi kebaikan apapun yang ingin kita tanamkan kepada anak, orang tua harus menjadi contoh paling pertama. Ini harus disadari orang tua, juga diajarkan kepada pengasuh anak di rumah.

5. Menakut-nakuti anak 

Nah, kesalahan yang satu ini juga sering sekali terjadi. Contohnya “Eh, ayuk makan yang banyak, kalau tidak mama panggilin satpam!!” atau “Ade, jangan kesitu! Gelap, ada setaann…!!”. Anak-anak pun akan membuat konstruksi berpikir sesuai stimulus yang diberikan orang tuanya seperti contoh tadi. Anak-anak akan berpikir satpam itu makhluk jahat, dan kerjanya menangkap anak-anak yang tidak mau makan. Padahal jobdes satpam kan bukan seperti itu. Atau anak akan berpikir di setiap tempat gelap itu ada setan. Eh, setan itu makhluk jahat seperti apa sih?! Lebih, baik kita memberikan stimulus yang lebih positif. Misalnya untuk contoh kasus anak malas makan, kita bisa membujuk anak dengan memberi analogi proses makan itu seperti pada tumbuhan. Kalau diberi air dan pupuk yang cukup, maka tumbuhan akan menjadi besar dan kuat.

Di akhir artikel ini saya ingin mengulangi penegasan dokter Wawan sebelum menutup materinya. Beliau adalah pakar ilmu tumbuh kembang anak, namun menurutnya ternyata dokter sehebat apapun masih kalah dari orang tua anak itu sendiri. Mengapa? Karena orang tua-lah yang sehari-hari mengikuti dan mengawal proses perkembangan anak. Ilmu secanggih apapun  yang digunakan, tanpa dukungan dan itikad baik dari orang tua tidak akan banyak berguna bagi jalannya tumbuh kembang anak. Sebagai orang tua kita bisa mulai dengan meminimalkan kesalahan-kesalahan yang mungkin sering kita lakukan dengan atau tanpa kesengajaan. Have a nice Monday. (PG)

[caption caption="Booth Morinaga di luar Ballroom Phinisi. Gambar: dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Moderator Adrian Maulana dan Bunda Romi. Gambar: dokpri"]

[/caption]

ilustrasi gambar pertama dari: www.munchkinfun.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun