Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memotret Community Capital yang Dimiliki Kompasiana

19 Oktober 2015   16:54 Diperbarui: 19 Oktober 2015   16:54 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejatinya, ada “energi potensial” yang tersimpan di tengah-tengah sebuah komunitas. Potensi-potensi ini jika dikelola dengan baik, dapat meningkatkan nilai dan harkat komunitas tersebut.

Dalam Sosiologi kita menyebutnya dengan istilah Community Capital atau Modal Komunitas. Modal dari komunitas ini terdiri dari Social Capital, Human Capital, Produce Economic Capital dan Natural Capital.

Social Capital dari sebuah komunitas adalah nilai-nilai sosial budaya yang diamini oleh seluruh anggota komuntas tersebut. Seringkali tidak terkait dengan norma hukum, namun setiap anggota komunitas percaya, melanggar nilai-nilai tersebut adalah sebuah kesalahan. Human Capital adalah skill, pengetahuan atau hal-hal positif lain yang dimiliki oleh anggota komunitas tersebut. Human Capital berkaitan erat dengan SDM yang dimiliki komunitas tersebut. Produce Economic  Capital atau biasa disebut juga aset komunitas adalah, sarana dan pra sarana dalam komunitas yang dapat menggerakan modal-modal lainnya sehingga mendatangkan nilai tambah bagi komunitas tersebut. Sedangkan Natural Capital adalah sumber daya alam yang dimiliki oleh komunitas tersebut. Jika Produce Economic Capital adalah hasil kreasi manusia, Natural Capital disediakan oleh alam di sekitar komunitas.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, makna komunitas sudah semakin cair. Dahulu kala, komunitas dibatasi oleh patok-patok geografi, juga etnik dan budaya. Kita mungkin masih familiar dengan aktivitas gotong royong seperti arisan tenaga yang memiliki nama sendiri di setiap daerah. Di daerah saya disebut Pokadulu, teman-teman dari Bali menyebutnya Ngayah.

Istilah-istilah tersebut untuk anak-anak kita mungkin jadi kurang familiar lagi. Pada zaman mereka ini, batas-batas komunitas telah bergeser begitu jauh melintasi sekat geografi, sosial dan budaya. Komunitas sekarang ini bisa berarti orang-orang yang memiliki kesamaan profesi, kesamaan hobi, kesamaan ideologi, kesamaan status dan aneka kesamaan lainnya. Perkembangan teknologi informasi semakin mengaburkan definisi dan batas-batas komunitas tersebut. Kawan saya aktivis gerakan Caritas di Makassar dapat dengan mudah bertukar wawasan dengan sesama aktivis lainnya di Jerman sana. Saat membaca tulisan ini, sebenarnya anda pun sedang melakoni aktivitas di komunitas besar kita, Kompasiana.

Nah, berbicara tentang komunitas kita ini, saya menemukan Kompasiana pun sebenarnya memiliki modal-modal dalam komunitas yang membuatnya makin bernilai baik bagi anggota komunitasnya (yang disebut Kompasianer), maupun bagi pihak-pihak di luar Kompasiana.

Kembali kepada Community Capital yang sudah saya paparkan di atas. Mari kita cermati satu per satu modal komunitas yang dimiliki Kompasiana saat ini. Dengan catatan, kita mengecualikan Natural Capital, karena ini lebih cocok untuk komunitas yang berdomisili di suatu wilayah tertentu.

Social Capital

Apa sih Social Capital di Kompasiana? Awalnya agak susah menghubungkan modal sosial komunitas yang kasat mata dengan komunitas dunia maya. Dalam kehidupan sehari-hari, modal sosial sebuah komunitas bisa ditemukan pada nilai yang dihayati anggota komunitas tersebut dalam relasi satu sama lain. Seperti misalnya solidaritas saat tetangga sakit atau mengalami kedukaan, atau gotong royong membersihkan jalan kompleks dan lain-lain.  Untuk menemukan “nilai” tersebut di Kompasiana, agak rumit. Jadi mungkin lebih mudah kita menemukan “budaya” yang lazim terjadi pada interaksi antar sesama Kompasianer. Misalnya: saat seorang Kompasianer mengunjungi artikel Kompasianer yang lain dan menitip komentar apalagi voted, maka biasanya Kompasianer yang disambangi tersebut akan balas melakukan hal serupa. Kemudian saya amati ada beberapa grup-grup kecil dalam Kompasiana yang rajin saling mengunjungi artikel satu sama lain. Kesamaan ketertarikan yang nampak lewat artikel-artikel yang ditayangkan pun menjadi  pengikat dan melahirkan sejumlah komunitas-komunitas kecil yang lain. Sebut saja: KPK, Rumpies the Club, Kocek, Kampret dan lain-lain. Untunglah Admin cukup aware, dengan selalu berupaya menghadirkan komunitas maya tersebut ke dalam dunia nyata lewat event-event yang diselenggarakan.

Human Capital

Wah, ngomongin modal yang satu ini, Kompasiana bisa disebut tidak ada matinya. Ini juga yang membuat saya jatuh cinta pada rumah bersama ini. Begitu banyak pakar dan jago di bidang masing-masing yang meramaikan Kompasiana dengan buah pikirannya. Ada pakar politik, pakar ekonomi, pakar sosial budaya, pakar pendidikan, pakar sejarah, pakar bahasa, pakar intelijen, pakar rumah tangga, pakar kuliner, pakar mbanyol, pakar fiksi dan aneka pakar lainnya. Kendati bukan orang-orang yang dikenal publik secara luas, ulasan-ulasan mereka seringkali lebih tajam dari ahli yang suka muncul di media. Naluri mereka juga seringkali lebih tajam dari jurnalis profesional. Human Capital ini sangat mempengaruhi dinamika dalam komunitas. Jika mampu disinergikan dengan baik, dapat menjadi energi kontsruktif. Jika tidak, dapat berbalik menjadi energi distruktif yang bisa mengancam eksistensi komunita tersebut.

 

Produced Economic Capital

Dalam komunitas maya seperti Kompasiana, Social Capital dan Human Capital-lah yang berkolaborasi membentuk Produced Economic Capital. Aktivitas dalam komunitas inilah yang kemudian meningkatkan nilai Kompasiana, baik nilai sosial seperti yang sudah dipaparkan di atas, maupun nilai finansial.  Jika saja Kompasiana benar-benar berupa blog independen, lebih mudah menentukan bagaimana Produced Economic Capital-nya. Namun karena masih berafiliasi dengan Kompas, analisis-nya bisa jadi agar bias. Namun yang terpenting adalah Kompasiana sendiri saat ini menjadi “aset layak beli” yang semakin dilirik para vendor. Salah satu indikatornya adalah semakin ramainya blog competition yang digelar Kompasiana bermitra dengan vendor-vendor tersebut. Dan yang tidak kalah penting, sekomersil apapun, Produced Economic Capital ini mesti mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi warga Komunitas tersebut.

 

Analisis sederhana di atas memperlihatkan kalau Kompasiana adalah sebuah Komunitas dunia maya yang penuh dengan potensi. Semakin lama eksistensinya juga semakin diperhitungkan di antara Komunitas-komunitas dunia maya lainnya. Jadi sebagai Kompasianer, sudah semestinya kita tetap saling menghargai satu sama lain dan menjaga “rumah bersama” ini. Berbeda sudut pandang itu sudah lumrah terjadi. Kata kuncinya adalah bagaimana kita menyikapi segala perbedaan tersebut dengan bijaksana dan dewasa.

Salam Kompasiana (PG)

 

_______________________________

 

ilustrasi gambar dari: www.kompasiana.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun