Di atas pelangi ini kamu pernah bercerita tentang jejak-jejak masa lalu. Sebagian mimpi sebagian lagi obsesi. Suatu hari nanti aku akan melukis pelangi di dinding kamar anak-anakku, katamu. Waktu itu di balik daster, perutmu sedang menyembunyikan kehidupan seumur jagung. Aku adalah pria yang tidak bisa berbohong. Aku pun menyampaikan harapanku. Sebuah harapan terlarang. Kamu menertawaiku lalu melipat harapan itu jadi origami pesawat terbang, dan melemparkannya pada angin yang melintas.
Lalu di atas pelangi ini kamu pernah meminta aku menyanyikan sebuah lagu sendu, agar bocah merah merona di pangkuanmu bisa segera tertidur lelap. Saat itu badai sedang berlangsung hebat. Aku pun meminta hujan menghentikan tariannya dan petir menghentikan kegaduhannya, lalu menyanyikan sebuah lagu. Bocah itu tertidur pulas seperti malaikat. Aku kembali menyampaikan harapanku yang terlarang. Waktu itu kamu tidak bisa tertawa lagi, bukan karena takut malaikat kecil terbangun.
Masih di atas pelangi yang sama, hari ini. Setengah merajuk kamu memintaku memilih satu nama di antara belasan nama play group ternama di kota kita. Aku tersenyum. Terharu. Bocah itu tengah berlarian mengejar kupu-kupu kuning emas di tepi pelangi. Waktu benar-benar terbang tak terkejar, senang rasanya saat melihat bocah itu telah bertumbuh sehat dan kuat.
Entah mengapa petang ini aku merasa semesta sedang berpihak kepadaku. Angin laut meniupkan selembar kertas merah jambu, beraroma melati.
Aku kembali menyampaikan harapanku, yang masih terlarang. Kamu tidak tertawa atau terdiam. Kali ini kamu melelehkan bulir-bulir bening di sudut matamu. Pertanda kata-kata tidak bisa kamu ungkapkan lagi.
Aku mengarahkan kertas merah jambu ke hadapanmu. Ada nama lelaki yang telah kamu tunggu bertahun-tahun di situ, sayangnya nama itu bersanding dengan nama wanita lain. Tak lama lagi, menurut tanggal yang tertera disitu, mereka akan melangsungkan hari bahagia mereka.
Bulir-bulir bening semakin deras mengalir. Untuk pertama kalinya di atas pelangi ini, kamu merebahkan diri ke dalam hangatnya pelukanku. Sudahlah, lepaskan semua beban kehidupanmu, kataku.
Kita akan membangun rumah di atas pelangi ini. Rumah dengan pondasi kesetiaan dan atap kasih sayang. Setelah itu kamu boleh melukis pelangi di dinding manapun sesukamu.
Kali ini kamu tidak boleh menolak harapanku.
_________________________________________
ilustrasi gambar dari:Â www.sodahead.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H