Tahun lalu, pasar modal kita begitu “seksi”. Saat ekonomi global sedang meredup, IHSG justru terang benderang. Membuka tahun 2014 di level 4.274,18 dan tutup buku di level 5.226,95. Sepanjang tahun, IHSG mencatat kenaikan 22,29%. Bandingkan dengan Bursa Thailand 15,15%, Indeks Nikkei Jepang 8,83%, Bursa Singapura 6,32%, Bursa Hongkong 2%, Bursa Australia 1,75%, Indeks FTSE 100 dan beberapa indeks yang mencatatkan pertumbuhan negatif seperti Inggris -1,71%, Bursa Korea -4,15%, Indeks Dow Jones Amerika Serikat -4,95%, dan Bursa Malaysia -5,28%.
Oleh karena itu pasar modal kita jadi lebih ditopang oleh kapitalisasi asing. Tercatat sepanjang tahun 2014 aliran dana investor asing yang masuk mencapai Rp49,7 triliun. Pada bulan November 2014, perbandingan modal asing dan dalam negeri tercatat 58,8% banding 41,2%. Kelihatan wah, namun agak riskan. Makanya akhir tahun lalu BEI gencar melakukan sosialisasi untuk lebih memperkenalkan pasar modal kepada masyarakat dengan harapan investasi dari dalam negeri bisa digenjot lebih kencang.
Bukan hanya pasar modal, investor asing juga menguasai sektor jasa keuangan seperti Perbankan dan sejumlah sektor riil. Oleh karena dominasi asing ini, sistem keuangan kita cenderung goyah begitu datang berita negatif dari luar negeri.
Belakangan ini, isu-isu global seperti rencana perubahan suku bunga acuan oleh The Fed, devaluasi Yuan dan harga minyak yang terus menurun, ikut mempengaruhi sentimen investor. Dalam suasana serba tak menentu ini, investor cenderung memilih mengantongi major currency yang lebih aman seperti dolar Amerika.
Pelan namun pasti, pelemahan nilai tukar Rupiah pun terus terjadi. Sejak awal tahun sampai Juni 2015, tidak kurang dari Rp20 triliun modal asing bergerak keluar dari pasar modal kita. Belum lama ini, level psikologis Rupiah di 14.000 per dolar jebol sudah.
Setelah melewati level psikologis 14.000 ini, Rupiah akan membentuk support dan resistant baru, sehingga masih akan cenderung berfluktuasi di kisaran 14.000an. Harga baru ini juga akan dimanfaatkan oleh investor untuk aksi ambil untung. Di sisi lain, modal dari investor domestik tidak akan banyak bergerak. Berdasarkan habit pasar modal di Indonesia, bulan Agustus adalah bulan taking profit. Di Indonesia bulan-bulan Juni-Juli adalah masa masuk anak sekolah, sehingga investor lebih memenuhi biaya pendidikan terlebih dahulu dibanding berinvestasi.
Pasca Rupiah melewati Rp14.000, suasana ekonomi dan politik dalam negeri pun menghangat. Banyak ekonom dadakan bermunculan. Para pakar pun balas berbalas kicauan. Sayangnya, sebagian terkesan memanfaatkan kekisruhan ini dengan mengumbar statement yang tidak komprehensif mengenai keadaan ekonomi kita yang aktual, sehingga cenderung membingungkan masyarakat.
Tekanan ekonomi global, tidak bisa disangkal lagi, menjadi penyebab utama pelemahan Rupiah. Sistem keuangan seperti mata rantai yang saling mempengaruhi satu sama lain. Tentu keadaan fundamental dalam negeri juga ikut berpengaruh. Pelaku pasar senang dengan “stabilitas” sehingga keadaan sosial politik yang gonjang-ganjing sudah pasti tidak akan membuat mereka betah berinvestasi lama-lama.
Tapi tidak perlu sampai berandai-andai kita akan kembali ke dalam krisis seperti yang pernah kita alami tahun 1998 lalu. Keadaan kita saat ini lebih terkendali dibanding saat itu. Jika kita sebagai rakyat saja pusing, Pemerintah sebagai pengelola negara ini pasti jauh lebih “pusing”.
Sehingga sejak jauh hari pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah-langkah untuk menahan laju pelemahan Rupiah. Diantaranya membuka kesempatan kepada investor asing untuk melakukan investasi yang lebih bersifat jangka panjang, seperti pada infrastruktur. Memang terlihat langkah pemerintah agak lambat, tapi paling tidak ada progress yang bisa kita lihat. Salah satu proyek teranyar adalah pembangunan kereta api cepat yang saat ini sedang dipinang-pinang oleh Tiongkok dan Jepang.