Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Uang Panas

23 Agustus 2015   21:11 Diperbarui: 23 Agustus 2015   21:11 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku, seumur hidup, tak pernah sekalipun bermimpi memegang uang tunai puluhan juta rupiah dengan tanganku sendiri seperti ini. Lembaran rupiah dengan nominal hampir seratus juta rupiah yang menyentuh kulit telapak tanganku membawa sensasi yang sulit dijelaskan. Seperti ada kupu-kupu raksasa di dalam kepalaku, membuatnya berdenyut-denyut, denyut senang, sedih, takut, bergairah nge-blend jadi satu.

Aku bahkan sempat berpikir memang saat ini sedang bermimpi, sampai aku melihat Reyhan setengah mati menarik napas panjang penghabisan. Aku sadar, melihat sakratul maut seseorang dengan jarak sedekat dan senyata ini, tidak mungkin adalah penglihatan sebuah mimpi.

Tangan kiri yang memang dua gepok tebal uang seratusan ribu, sedikit bergetar menyambut kegugupanku. Sementara tangan kananku masih memegang pisau belati. Getarannya juga sama. Pisau belati masih bersimbah darah merah segar. Darah Reyhan. Beberapa lembaran seratus ribuan lain yang sempat tercecer akibat pergulatanku dengan Reyhan berserakan di lantai parkiran. Beberapa menutup bagian perut Reyhan yang merah menghitam akibat darah yang bercampur dengan debu parkiran.

“Kegalauan”-ku selama beberapa waktu dihalau oleh dering handphone. Tergopoh-gopoh aku memasukkan uang ke dalam tas kulit yang telah disiapkan sebelumnya, lalu mengangkat telepon tersebut.

“..bodoh…!!!”, Bang Rizal, bosku mengumpat kesal. “Kenapa lama sekali? Cepat keluar dari arah timur, kami sudah stand by disana.”

“Siap bos…,” sahutku.

“Cepat! Orang-orang Badar sudah naik dari parkiran paling bawah. Tak sampai 10 menit lagi mereka sudah ada disitu. Lewat tangga!”

“Siap bos…,” lagi sahutku.

Secepat kilat aku  memasukkan pisau ke dalam celah sepatu lalu berlari meninggalkan jenazah Reyhan di belakang.

****

Lima menit yang lalu, aku dan Reyhan berkejaran di sepanjang parkiran lantai tiga yang bermandi matahari namun sepi seperti kuburan. Bang Rizal dan Kim, asisten setianya mengamati aksiku dari gedung sebelah menggunakan teropong. Reyhan membawa uang hasil penjualan heroin dari seorang distributor besar. Bang Rizal diberi tugas oleh bos besar untuk merebuat kembali heroin atau uang penjualannya. Sepertinya ada kesalahpahaman antara bos besar dan Badar. Bang Rizal memberi “tugas mulia” itu kepadaku. Membunuh pun diizinkan jika hanya cara itu yang bisa membuat  uang bos besar kembali, kamu dapat 5% dari uang yang kamu rebut. Kalimat tersebut masih terngiang dalam gendang pendengaranku sampai aku benar-benar menyarangkan pisau belatiku di perut kanan Reyhan. Beberapa waktu sebelumnya, aku berhasil membungkam beberapa preman suruhan Badar lainnya dengan karate ala jalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun