[caption caption="Capture statistik dari woccu.org. Gambar: dokpri"][/caption]
Saat berbicara mengenai kemiskinan, ada dua teori akbar yang biasa digunakan sebagai referensi untuk mengurai penyebab kemiskinan. Pertama, sudut pandang Demokrasi-Sosial menekankan bahwa kemiskinan adalah masalah struktural. Kemiskinan disebabkan oleh ketimpangan pada struktur ekonomi, ketidakadilan sosial dan masalah-masalah politik pada suatu negara. Oleh karena itu pemerintah mesti melakukan banyak intervensi pada masyarakat melalui kebijakan-kebijakan ekonomi. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin mesti dihapus melalui pemerataan sumber-sumber pendapatan dan negara mesti memberikan jaminan sosial dasar bagi seluruh rakyat.
Teori kedua yang berlawanan dengan Demokrasi-sosial adalah sudut pandang Neo-liberal. Sudut pandang ini menekankan bahwa kemiskinan adalah masalah ketidakmampuan individu untuk mengikuti “irama pasar”. Kemiskinan adalah sepenuhnya masalah individu yang bersangkutan akibat keterbatasan pola pikir, minimnya keterampilan, dan masalah lain yang disebabkan kesalahan individu membuat pilihan-pilihan keuangan dalam hidupnya. Neo-liberal menjunjung prinsip “pasar bebas” setinggi-tingginya. Sehingga menurut pandangan ini, kemiskinan dapat diatasi dengan memberdayakan individu. Negara harus menyelenggarakan program yang melatih masyarat mengelola keuangannya dan memberikan stimulus bagi usaha masyarakat. Cara-cara bersifat karitatif jika harus dilakukan, mesti dilakukan secara bijak dan benar-benar selektif.
Kita bisa menguraikan lebih banyak teori dan analisis kemiskinan dalam tarikan dua sudut pandang ini. Dalam pemberantasan kemiskinan, tidak kurang kiat-kiat yang dilakukan pemerintah, baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Namun angka-angka mengenai kemiskinan dari pertama kali Republik ini memproklamirkan diri sebagai negara merdeka sampai hari ini belum banyak mengalami perubahan. Ini bukti bahwa kemiskinan memang merupakan masalah yang selalu aktual karena begitu kompleks dan rumit untuk memecahkannya.
Dari beberapa kiat yang telah diselenggarakan pemerintah, kita punya tool yang sebenarnya cukup mumpuni membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan. Koperasi atau Credit Union. Sejak awal negara pun sebenarnya sudah cukup memberi perhatian pada gerakan ekonomi kerakyatan yang satu ini. Sampai saat ini, selalu ada Kementerian yang diberi otoritas khusus menangani gerakan koperasi di tanah air. Payung hukum melalui UU No. 25 tahun 1992 untuk gerakan Koperasi juga sudah dibuat sebagai bentuk advokasi pemerintah bagi gerakan koperasi.
Dalam gerakan koperasi ada kekuatan yang bisa menghubungkan dua teori akbar di atas. Menilik sifatnya sebagai gerakan ekonomi gotong royong berdasar semangat cooperative, koperasi jadi mirip alat demokrasi-sosial. Dalam koperasi yang sejati, tidak boleh ada kesenjangan yang cukup besar antara satu anggota dan yang lain. Setiap anggota memiliki hak sama dalam hal share capital dan hal-hal yang bersifat keorganisasian(governance). Semua anggota diharapkan aktif meminjam dan menabung, agar tercipta kepemilikan modal bersama, yang digunakan untuk kesejahteraan bersama. Tidak dibenarkan ada pihak-pihak yang mengambil untung secara sepihak. Misalnya: anggota hanya mau menabung saja, tanpa mau meminjam.
Di sisi lain, koperasi semaksimal mungkin mengupayakan pemberdayaan setiap anggotanya. Produk-produk yang disediakan koperasi diharapkan dapat digunakan anggota untuk berusaha meningkatkan kesejahteraannya. Koperasi memberikan pelatihan-pelatihan mengenai pengelolaan keuangan dan memberikan insentif bagi anggota-anggota yang aktif menggunakan produk-produk koperasi. Sekalipun koperasi merupakan “kumpulan orang-orang”, kapasitas dan kemampuan individu tetap mendapat nilai tinggi. Ini merupakan ciri-ciri alat Neo-liberal.
Koperasi mampu meredam kelemahan-kelemahan sekaligus menggunakan kekuatan masing-masing sudut pandang. Jadi Koperasi sebenarnya adalah alat yang tepat untuk menjawab tantangan pemberatasan kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat. Tidak salah-lah kita menyebut Koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional dan menjadi top model gerakan ekonomi kerakyatan.
Namun sampai hari ini tantangan yang dihadapi gerakan koperasi juga cukup besar. Di luar masalah-masalah yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti kompetitor, budaya konsumerisme masyarakat, dan lain-lain, faktor-faktor internal pun masih mesti harus banyak dibenahi baik itu yang bersifat tata kelola atau good governance, maupun yang bersifat “nilai-nilai co-operative”. Banyak Koperasi yang ternyata hanya “mirip koperasi”. Memang memakai nama koperasi namun dari segi praktek lebih mirip perusahaan perseorangan, karena tidak dibangun atas dasar kebersamaan dan keputusan bersama dari anggota-anggotanya.
Sebagai contoh kecil, saat memberikan sambutan pada peringatan hari Koperasi tingkat kota madya, wakil walikota Makassar, Syamsu Rizal mengatakan saat ini ada sekitar 1.200 Koperasi yang terdata di kota Makassar. Namun 500 diantaranya tidak melakukan RAT serta tidak memberikan laporan kepada dinas Koperasi dan UKM Kota. Jika dimasukkan ke dalam rasio, di Makassar koperasi tidak aktif sebesar 41,67%. Ini bukan rasio yang baik. Kita belum menelusuri lebih jauh 700-an Koperasi yang tersisa, jika ingin lebih kritis. Apakah kehadiran Koperasi yang 700 ini telah membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di wilayah kerjanya atau tidak. Ini pertanyaan besar bagi segenap insan perkoperasian.
Di akhir tulisan saya ingin menampilkan sedikit statistik mengenai penetrasi Credit Union sebagai salah satu bentuk gerakan Koperasi di tanah air (gambar di atas). Data dicuplik dari homepage WOCCU (World Council of Credit Union). Sampai Desember 2014, penetrasi Credit Union di Indonesia baru mencapai 1,4%, peningkatannya tipis dari akhir tahun 2012 sebesar 1,23%. Artinya dari 1.000 orang penduduk, baru 14 orang yang bergabung menjadi anggota Credit Union. Bandingkan dengan negara-negara lain di Asia seperti India (2,5%), Nepal (5,9%), Filipina (8,1%), Thailand (8,3%) atau Korea yang telah mencapai 15,9%. Amerika Serikat yang selama ini identik dengan pandangan kapitalis justru penetrasi Credit Union-nya lebih tinggi lagi, 47,6%. Statistik ini mengindikasikan kalau gerakan ekonomi kerakyatan melalui koperasi masih harus digenjot lebih kencang lagi di negeri ini.
Membawa gerakan koperasi ke arah yang lebih baik untuk menjawab tantangan pengentasan kemiskinan memang tidak bisa dikerjakan secara instan. Namun jika seluruh insan perkoperasian bahu membahu dengan dukungan dari segenap stakeholder, Koperasi masih akan terus membawa harapan bagi negeri ini. (PG)
Referensi: woccu.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H