Kehidupan pada zaman modern ini bergerak semakin dinamis, apalagi didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi. Organisasi yang masih betah leyeh-leyeh dan enggan berinovasi dipastikan akan ketinggalan kereta. Tanpa kemampuan beradaptasi dengan tuntutan zaman, organisasi atau perusahaan besar sekalipun akan disalip dengan mudah oleh pemain-pemain baru yang bermunculan.
Dulu, untuk mencari tumpangan sepeda motor atau yang lebih populer dengan sebutan ojek, calon penumpang mesti membawa diri terlebih dahulu ke pangkalan ojek terdekat. Atau kalau ada tukang ojek yang sudah familiar, calon penumpang hanya perlu mengangkat telepon untuk menelepon tukang ojeknya.
Sekarang lain cerita. Adalah Go-Jek, fenomena baru pergeseran gaya mobilitas masyarakat metropolitan. Menariknya, Go-Jek adalah “produk” lama yang dikemas dengan cara baru, layanan ojek dengan metode delivery service untuk menawarkan kemudahan kepada pelanggannya. Berbekal jempol dan aplikasi handphone, calon penumpang bisa dengan mudah memesan tumpangan sepeda motor tanpa perlu repot-repot mencari pangkalan ojek terdekat. Tumpangan yang dibutuhkan langsung ditemui di depan teras kantor, depan pintu rumah atau tempat aktivitas lainnya yang masuk dalam coverage Go-Jek.
Lalu muncul resistensi dari tukang ojek konvensional. Berita-berita mengenai intimidasi dan konfrontasi fisik dari ojek konvensional terhadap pengendara Go-jek belakangan ini sering kita dengar. Sebenarnya reaksi ini wajar. Tidak ada orang yang tenang saja saat piring makannya disikut orang lain.
Namun seiring waktu, kehidupan dan dinamikanya akan terus menggilas orang-orang yang tidak mau berubah atau masih betah dengan cara dan strategi lama. Kita saat ini masuk pada era pemasaran yang beradaptasi dengan prinsip “time is money”. Perusahaan-perusahaan yang belakangan ini adalah mereka yang memiliki fasilitas delivery service untuk pelangganya. Tentu pelanggan akan lebih memilih menunggu produknya di depan pintu rumah, ketimbang mencari produknya sendiri di etalase toko atau tempat produksi.
Strategi inilah yang membuat Go-Jek bisa dibilang sukses menarik hati pelanggannya. Dengan omset Rp 200.000-Rp 300.000 per hari, Go-Jek bisa menjadi salah satu alternatif profesi yang menjanjikan.
Semakin lama para driver Go-Jek pun semakin solid. Kiat terbaru yang mereka lakukan adalah membuat tempat mangkal “bayangan” sendiri. Bukan sama seperti pangkalan ojek konvensional, menurut beberapa driver Go-jek seperti diberitakan kompas.com hari ini, pangkalan tersebut lebih berfungsi sebagai sarana mengeratkan silahturahmi antar sesama pengendera Go-Jek yang selama ini seringkali diasingkan ojek konvensional. Selain itu, pangkalan tersebut digunakan sebagai tempat transit untuk rehat sejenak sambil memantau orderan penumpang.
Satu lagi bukti, yang jemput bola lebih unggul dibanding yang menunggu bola. (PG)
ilustrasi gambar dan referensi dari: megapolitan.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H