Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ucapkan Janji Perkawinan Sekali Lagi

27 Juli 2015   19:45 Diperbarui: 27 Juli 2015   19:45 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya bukan konselor rumah tangga atau pakar percintaan. Namun secara pribadi, saya membenarkan anggapan kalau cinta itu bisa bertumbuh melalui kebersamaan yang intens. Seperti benih yang tumbuh di tanah subur, diberi air serta pupuk yang cukup. Sebaliknya, sekalipun cinta telah diikrarkan dan dilembagakan ke dalam perkawinan, cinta bisa layu dan memudar jika tidak sering-sering dimaknai dan disegarkan kembali. Seperti layaknya perdu yang kekurangan air dan kekurangan nutrisi dalam tanah, lama kelamaan perdu tersebut akan mati.

Dibutuhkan peran kedua belah pihak, baik suami maupun istri, untuk terus mengobarkan api cinta yang telah menyatukan keduanya dalam perkawinan. Seringkali “api” tersebut meredup seiring waktu. Bisa jadi karena emosi dan perhatian yang mulai terbagi dengan kehadiran anak-anak, suasana romantis digerus oleh kesibukan, “value” pasangan hidup terasa berkurang karena berbagai masalah, dan sejumlah penyebab lainnya.

Untuk mengeceknya, kita bisa berkaca dari pengalaman sehari-hari. Misalnya, setelah berumah tangga, seberapa sering kita mengucapkan kata-kata sakti “I love you” dibanding saat masih pacaran dulu. Atau  seberapa sering kita mengecup istri/suami untuk menunjukkan tanda cinta kita.

Pesan Cinta

Alkisah, pada satu sesi seminar mengenai rumah tangga yang dihadiri oleh kaum ibu, pemateri menanyakan berapa kali ibu-ibu tersebut memeluk suaminya dalam sehari. Peserta hanya senyam-senyum kikuk sambil geleng-geleng kepala. Pemateri seminar lalu bertanya lagi berapa sering mereka mengucapkan kata sayang, atau cinta pada suaminya. Beberapa peserta berusaha keras mengingat-ingat, namun sebagian besar mengatakan tidak pernah lagi. Kini giliran pemateri seminar yang geleng-geleng kepala.

Lalu pemateri mengarahkan ibu-ibu peserta untuk mengirim SMS atau pesan elektronik lainnya kepada suami-suami mereka segera. Pesan tersebut berisi ungkapan cinta dan harus mengandung frase “aku cinta kamu”. Ibu-ibu pun segera menunaikan instruksi pemateri.

Beberapa saat kemudian, pesan balasan dari suami-suami mereka berdatangan. Jawaban para suami pun beraneka ragam. Ada yang membalas seperti ini “Ma, pasti ada maunya nih… Udah bilang saja langsung”, ada yang seperti ini “Kamu baik-baik saja kan?”, ada yang membalas “Hayoooo, sms untuk siapa tadi..??”, atau ada yang lebih parah, “Maaf, ini siapa ya?

Kisah imajiner di atas hanya untuk memberi ilustrasi, ternyata ungkapan cinta dan kasih pun menjadi sesuatu yang sudah langka terjadi dalam rumah tangga. Sehingga saat kita mengirim pesan cinta yang tulus, pasangan pun menanggapinya dengan aneh.

Janji Perkawinan                         

Pembaca yang sudah berumah tangga pasti masing bisa melayangkan memori pada saat pengucapan janji atau akad nikah dahulu.

Ingat kembali bagaimana bahagianya anda saat itu. Rasakan kembali suasana batin anda serta cinta dan ketulusan yang berhasil menyatukan anda bersama pasangan.

Gereja Katolik Paroki St. Paulus Tello Makassar memiliki tradisi unik untuk membantu pasutri (pasangan suami istri) mengulang kembali pengalaman mengucapkan janji perkawinan mereka dahulu. Pada hari-hari Minggu tertentu, biasanya hari Minggu terakhir dalam bulan, atau hari Minggu pertama bulan berikutnya, pasutri-pasutri yang merayakan hari ulang tahun perkawinannya pada bulan berjalan diminta tampil di depan altar untuk mengucapkan kembali janji perkawinan mereka di depan pasangan masing-masing.

Kemarin (26/7), tradisi pengucapan janji perkawinan ini dilakukan kembali di tengah-tengah perayaan Misa pagi.

Setelah homili (khotbah) dari pastor disampaikan, petugas yang ditunjuk membacakan nama-nama pasutri yang merayakan hari ulang tahun perkawinan mereka pada bulan Juli dan meminta mereka untuk segera maju ke depan altar. Tentu pasutri yang dipanggil adalah mereka yang terdaftar perkawinannya, sekaligus umat Paroki St. Paulus Tello. Tapi petugas juga tetap memberi kesempatan kepada pasutri yang tidak dibacakan namanya (umat dari paroki lain yang hadir) namun merayakan ultah perkawinan pada bulan Juli untuk ikut maju  ke altar. Tidak semua pasutri yang dipanggil hadir, karena ada yang berhalangan. Padahal sebenarnya pihak sekretariat paroki dari jauh hari sudah mengirim surat undangan kepada para pasutri.

Dari puluhan pasutri yang terdaftar pada petugas, yang bisa hadir hanya sepuluh pasutri. Usia mereka cukup bervariasi, mulai dari pasutri muda sampai yang sudah lanjut usia. Para pasutri ini diminta untuk berdiri berhadapan dan menggenggam tangan pasangannya masing-masing. Setelah itu, pastor yang memimpin ucapacara memandu para Pasutri untuk mengucapkan kembali janji perkawinannya.

Janji perkawinan ini memiliki makna mendalam bagi pasutri jika benar-benar dihayati kata demi katanya. Kalimat-kalimatnya berisi janji untuk tetap setia sehidup semati, baik dalam susah maupun senang, sehat maupun sakit dan untung maupun malang. Rumusan janji juga berisi kesediaan untuk menjaga serta membimbing anak-anak yang dikaruniakan Tuhan dengan sepenuh hati.

Setelah mengulang janji perkawinan, setiap pasutri diberi berkat oleh Pastor dan mereka diminta untuk menunjukkan tanda cinta kasih pada pasangannya masing-masing. Pasutri-pasutri yang baru mengulang janji perkawinan pun memeluk pasangannya masing-masing, lalu melabuhkan cipika cipiki paling mesra sebagai simbol cinta mereka.

 

 Checkpoint

Keluarga merupakan komunitas paling awal untuk tempat tumbuh kembang seorang manusia sehingga nilai-nilai kemanusiaan pertama kali dipelajari dari kebersamaan dalam keluarga. Kemudian keluarga menjadi benteng paling terakhir dari gempuran budaya asing yang membawa serta degradasi nilai-nilai kehidupan yang belakangan ini melanda generasi muda kita.

Dengan demikian suami dan istri mesti secara terus menerus memperbaharui sumpah setia  berlandaskan cinta yang pada mulanya diikrarkan untuk membangun sebuah rumah tangga. Dengan rumah tangga yang harmonis penuh cinta, keluarga yang dibangun mampu menjadi “surga” bagi anak yang dikaruniakan Tuhan.

Seperti pada kiat yang dilakukan di paroki St. Paulus Tello di atas, pembaharuan janji perkawinan sebenarnya hanya merupakan salah satu cara untuk menyegarkan kembali makna hubungan suami dan istri. Dalam lika-liku kehidupan yang dilalui pasutri, ini menjadi sebuah checkpoint baru. Pembaca yang sudah berumah tangga pun bisa mencari kiat-kiat membuat checkpoint seperti ini sesuai dengan keadaan masing-masing. (PG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun