“Jangan lupa hari ini kamu harus menjemput Theodore,…” ucapnya lagi sambil memunguti beberapa pakaian yang berserakan di lantai. Shit! Aku hampir lupa memang. Hari ini putri kami menyelesaikan perkemahan musim panasnya di luar kota. Siang ini penutupan perkemahan mereka. Aku tidak boleh terlambat. Sekalipun menggunakan mobil sendiri, butuh waktu empat sampai lima jam sampai ke perkemahan itu.
Eleanor memasukkan satu dua dasiku yang tercecer di bawah lemari sambil terus mengomeli kebiasaan burukku yang suka memberantakkan barang-barang. Aku tidak balas marah, malah senang dengan nyanyian paginya itu. Rasanya ada yang kurang kalau dalam sehari saja tidak mendengar omelannya.
Apalagi dari balik dasternya, wanita ini nampak seksi berlatar cahaya matahari pagi. Aku pun merengkuh pinggulnya dari belakang.
“Kamu cantik sekali pagi ini, sayang….,” ucapku sambil mengecup tengkuknya.
Eleanor tersenyum. Dia berbalik dan balas melumat bibirku. Sayang hanya sesaat. Dia lalu buru-buru menyudahi permainan bibir kami.
“Jangan sekarang…. Aku ada janji dengan pembeli pagi ini,…” ucapnya dengan wajah merona. “…dan kamu juga harus menjemput Theodore. Bergegaslah, jangan sampai dia uring-uringan lagi…,”
Eleanor lalu memberi satu kecupan singkat dan buru-buru meninggalkan kamar dengan setumpuk pakaian yang hendak dibersihkan. Sebelum keluar dari pintu dia berbalik sejenak,
“…. dan mandi yang bersih, jangan sampai Theodore mencium bau alkohol dari mulutmu…,”
“Beres, sayang…”
Setelah Eleanor menghilang. Aku menghempaskan pantatku ke atas kasur. Masih ada sedikit waktu sebelum mandi, jadi aku menyempatkan diri membuka laptop dan mengecek email-email yang masuk. Ada private message dari Randy.
“Aku rindu, sayang…,” pesannya singkat. Sepertinya dia sudah sampai di New York saat mengetik pesan itu. Jujur aku juga merasakan kerinduan mendalam terhadap pria itu. Tapi di saat yang bersamaan wajah Eleanor yang merona merah muncul dalam pikiranku.