Bukan karena keping dan lembar rupiah telah tiada,
aku orang berada.
Bukan karena pengumpul derma tidak kupercaya,
aku kenal rumah nirlaba yang sungguh peduli sesama.
Bukan pula karena tidak ada pamrih dari Tuhan yang aku terima,
Aku berkelimpahan berkat dari-Nya.
.
Aku lelah berderma karena orang miskin semakin banyak.
Bertumpuk serak seperti semut rang-rang berebut tempayak.
Dermaku tidak membuat orang susah berhenti teriak,
dermaku tidak kunjung membuat mereka hidup layak.
Mengucurkan solidaritas rasanya seperti menuang tuak.
Aku lelah membuat piring peradaban semakin retak.
.
Saat harga beras sampai di titik nadir
orang kelaparan berlomba mempersalahkan takdir
para borjuis asyik menghias bibir.
Dermalah yang mempertemukan keduanya,
Tapi derma pula yang menegaskan batas keduanya.
Jadi apa gunanya mempersoalkan harga?
.
Mata sayu, kulit menghitam, tangan tengadah
Tengkorak berbalut kulit tertatih melangkah
daratan penuh dengan bocah haram jadah.
Setiap kali rupiah keluar dari pundi-pundi,
mimpi buruk itu selalu datang menyinggahi.
Aku lelah bersembunyi dan memaki negeri ini.
.
Saat matahari memanasi bumi
dan membakar para pengemis yang telanjang kaki.
Aku semakin sadar, akulah yang membuat mereka tak pernah berhenti.
Seperti musafir yang mengejar oasis di gurun sahara
lalu berteriak pilu saat sadar itu hanya fatamorgana,
begitulah orang miskin dan derma.
.
Keduanya seperti simbiosis parasistisme,
Saling membutuhkan, dan saling meracuni. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H