Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Merkuri di Atmosfir Mendekati Kita

17 Januari 2014   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_316372" align="alignnone" width="448" caption="Penampakan Laut Es Arktik. Gambar dari: www.nasa.gov"][/caption]

Sekelompok peneliti yang difasilitasi oleh NASA menemukan fenomena alam yang mengejutkan di antara retakan-retakan es Arktik di kutub Utara. Penemuan mereka dapat menjadi “alarm” baru bagi kita untuk lebih memperhatikan perlakuan terhadap alam sekitar, sesuatu yang seringkali kita lalaikan saat kita terhipnotis derap pertumbuhan ekonomi.

Proyek Penelitian ini diberi nama BROMEX (Brom, Ozon, dan Mercury Experiment). Proyek yang didukung sepenuhnya oleh NASA dengan melibatkan beberapa institusi terkait ini telah dirintis sejak tahun 2012. Para peneliti yang dikomandani Son Nghiem, ilmuwan NASA, berhasil menemukan peningkatan kadar merkuri di permukaan pantai Barrow, Alaska. Hasil penelitian mereka ini telah dipublikasikan pada majalah ilmiah Nature 15 Januari lalu.

Untuk mendukung eksperimen, mereka juga menggunakan pencitraan yang diperoleh dari MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) salah satu instrumen pada satelit Terra milik NASA. Gambar tersebut digunakan untuk mengamati gejolak udara di atas leads yang menghampar di Samudra Arktik. Leads adalah bukaan air laut di antara lapisan es yang terbentuk karena lapisan es yang retak.

Reaksi yang Menarik Merkuri

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa reaksi yang terjadi akibat perbedaan suhu antara udara di permukaan leads yang jauh lebih hangat dibanding udara di atasnya menyebabkan merkuri yang mengendap di atmosfir terpompa ke bawah, menuju lebih dekat ke permukaan. Untuk membantu memahami fenomena ini, Chris Moore, salah satu peneliti dari Desert Research Institute menganalogikan reaksi ini dengan udara yang bergolak di atas panci yang mendidih. Moore mengatakan pencampuran (mixing) yang  begitu kuat itu benar-benar menarik merkuri dari lapisan atmosfer yang lebih tinggi hingga mendekati permukaan. Mixing tersebut ditandai dengan awan padat yang dimuntahkan dari lead yang membumbung sampai ke atmosfer dengan ketinggian sekitar 400 meter. Ini ketinggian yang memungkinkan aliran merkuri itu terjadi.

Jadi ada dua faktor utama yang memicu fenomena ini. Pembentukan Leads dan peningkatan kadar merkuri di atmosfir. Meluasnya Leads di Samudra Arktik juga dipengaruhi oleh perubahan iklim. "Selama dekade terakhir, kita telah melihat lebih banyak laut es yang baru daripada es abadi. Es yang baru lebih tipis dan lebih asin sehingga lebih mudah retak. Lebih banyak es baru berarti lebih banyak lead juga," kata Son Nghiem.

Pemicu berikutnya adalah peningkatan buangan limbah gas merkuri yang terakumulasi di atmosfir Arktik. Polutan tersebut berasal dari arah selatan, termasuk negara-negara yang berada di daerah tropis. Penyebabnya utamanya adalah pembakaran batu bara, penambangan emas dan kebakaran hutan.

Hasil kerja Nghiem dan kawan-kawan jadi penegasan baru terhadap kesepakatan bangsa-bangsa untuk mengurangi pencemaran merkuri yang dituangkan dalam konvensi Minamata yang ditandatangani pada bulan Oktober tahun lalu. Sejauh ini sudah ada 94 negara yang ikut bertandatangan pada dokumen kesepakatan global tersebut, termasuk Indonesia. Nghiem berharap agar konvensi Minamata cepat-cepat diratifikasi menjadi hukum internasional.

Keracunan Merkuri yang Pernah Terjadi

Bicara polusi merkuri, mungkin orang-orang akan langsung teringat kasus Minamata Jepang yang mendapat perhatian dunia sekitar tahun 1968. Tiga puluh tahun sebelum itu, sebuah perusahaan raksasa, PT. Chisso yang memproduksi kosmetik, batterai dan bahan peledak, membuang berton-ton limbah pabriknya ke teluk Minamata. Beberapa tahun setelahnya beberapa orang yang tinggal disekitar teluk Minamata menderita penyakit aneh seperti gangguan bicara, kehilangan keseimbangan dan kelumpuhan yang diakibatkan kerusakan otak. Pemerintah setempat pun bergerak mencari penyebabnya. Rupanya kandungan merkuri dari limbah pabrik PT. Chisso yang  meracuni kerang dan ikan-ikan yang dikonsumsi penduduk setempat selama bertahun-tahun terakumulasi dalam organ-organ tubuh penduduk. Pada awalnya mungkin tidak terjadi masalah karena tubuh kita memiliki mekanisme pertahanan diri. Namun karena merkuri tidak mudah dibersihkan oleh tubuh, saat jumlahnya melebihi ambang batas yang ditolerir muncullah penyakit-penyakit aneh tersebut.

Di Indonesia contoh kasus merkuri yang mendapat perhatian publik adalah kasus teluk Buyat, Sulawesi Utara pada tahun 1994. Penduduk setempat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menyelidiki limbah PT.Newmont Minahasa Raya setelah mereka melihat banyak ikan-ikan yang mati dan banyak penduduk setempat menderita penyakit kulit, tremor, sakit kepala dan pembengkakan di beberapa bagian tubuh mereka. Kasusnya pun sempat sampai ke pengadilan. Pemerintah cq Menteri Negara Lingkungan Hidup menuntut  PT. Newmont karena tailing dari Pertambangan telah mencemari teluk Buyat dan daerah sekitarnya. Walaupun saat itu pengadilan membatalkan gugatan pemerintah karena alasan teknis dan menyarankan pemerintah melakukan arbitrase dengan PT. Newmont sesuai kontrak yang telah disepakati bersama.

Teguran Alam

Kita kembali ke hasil penelitian Nghiem dan kawan-kawan. Peningkatan merkuri di permukaan Alaska mengindikasikan ancaman baru bagi ekosistem. Jika tidak ada upaya mengurangi pencemaran merkuri secara signifikan, polutan ini dapat masuk ke rantai makanan. Dimulai dengan meracuni plankton, ikan, sampai pada manusia yang mengkonsumsinya.

Seperti rantai makanan, manusia selalu berada pada puncak ekosistem. Hukum tabur tuai berlaku disini. Bagaimana cara manusia memperlakukan alam, seringkali jadi cermin bagaimana alam memperlakukan manusia. Lihat saja banjir yang terjadi belakangan ini. Sebagian besar penyebabnya karena perbuatan tangan manusia juga. Mungkin sepeti itulah cara alam “menyeimbangkan” diri sekaligus menegur kita umat manusia. (PG)

Referensi:

Artikel dari NASA

Kasus Minamata

Kasus Teluk Buyat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun