Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mami Vera

12 Maret 2015   19:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:45 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mami Vera. Begitulah orang-orang memanggilnya. Wanita di ujung usia lima puluh, pemilik salon bayi yang terletak di tengah kompleks perumahan elite sebelah selatan Jakarta. Penampilannya khas sekali, dandanan menor dan batang rokok yang tidak pernah jauh-jauh dari bibirnya.

Sudah sepuluh tahun mami Vera ditinggal mati suaminya. Anak tunggalnya lebih memilih untuk membangun keluarga baru jauh di luar negara. Dengan bekal warisan rumah dan sedikit harta dari mendiang suaminya, mami Vera pun berjibaku membangun bisnis salon bayinya. Tidak bisa disebut sukses-sukses amat, tapi saat ini salon berlabel “Baby and Mom” itu sudah mempekerjakan enam orang karyawan dan eksis hampir tujuh tahun lamanya. Sebagai sebuah sumber mata pencaharian, usaha tersebut bolehlah jadi andalan.

Tapi cuma segelintir orang yang tahu kalau sebenarnya mami Vera hanya menjadikan salon bayinya sebagai kedok dari bisnis lain yang omsetnya jauh lebih besar.

“Halo, mami…. Lagi dimana nih?” suara seorang wanita terdengar renyah di ujung handphone mami Vera. Sore ini dia sedang memeriksa pembukuan dalam kantor pribadinya di lantai dua rumah sekaligus tempat usahanya.

“Di rumah aja, jeng. Saya sudah seharian ini nunggu kabar kamu, loh. Gimana? Gimana?”

“Tenang aja. Ada barang bagus, mih. Tujuh bulan. Dari keluarga miskin sih, tapi anaknya bersih, putih. And guess what??… emaknya bersedia jual murah, gak sampai lima belas juta! Asal cash aja!!”

Mami Vera membelalak.

“Beneran Lin?? Kalau gitu cepet diboyong…”

“Sipp! Aku tunggu mami transfer duitnya aja..,”
“Okeh…. Segera,… Byeehh, Eh jangan lupa, hati-hati!”

“Beresss….. daah mami!”

Setelah itu dengan sigap mami Vera mengaduk laci mejanya, mencari gadget token bank agar bisa segera mengirim uang transaksi ke rekening milik Linda, si wanita penelepon.

*** ***

Sebelum nyebur ke bisnis gelap itu,  mami Vera berkenalan dengan Mr. Chang, teman lama mendiang suaminya dari Singapura. Pada suatu obrolan yang hangat, Mr. Chang mengatakan saat ini dia jadi penyalur bayi  untuk pasangan-pasangan kaya di Singapura yang tidak dikaruniai anak. Mereka bersedia membayar berapapun untuk memiliki bayi sendiri. Awalnya mami Vera pun berniat tulus membantu Mr. Chang. Tetapi beberapa saat kemudian, Mr. Chang memperkenalkannya dengan Linda, orang lapangan yang ternyata pemain lama dalam bisnis itu, hanya saja saat itu jalur sindikat mereka terputus karena bandar yang selama ini menjadi stockist menghilang begitu saja.

Sindikat perdagangan bayi itu butuh pemain baru, yang siap menjadi stockist dan membantu pengurusan arsip-arsip bayi yang akan disuplai ke mancanegara seperti Singapura dan Malaysia.

Mami Vera, yang kemudian terjebak di tengah sindikat sebenarnya masih punya peluang menarik dari bisnis haram tersebut. Tetapi mencicipi keuntungan berkali-kali lipat dari keuntungannya mengelola salon bayi selama ini membuat mami Vera gelap mata. Bayangkan, bayi yang berhasil didapat dari kejahatan penculikan, atau sekalipun kompromi dengan keluarga bayi paling banter dihargai 20 sampai 30 juta rupiah, setelah dilepas ke pembeli harganya bisa melambung jadi 80 sampai 90 juta rupiah per bayi.

Sampai pada akhirnya mami Vera pun menjadi bagian tak terpisahkan dari sindikat tersebut. Walaupun hidup di dalam bayang-bayang, mami Vera tidak keberatan karena dia bebas menikmati gaya hidup bak sosialita yang selama ini hanya mampu dibayangkan dan divisualisasikan lewat layar kaca.

Bebas gonta-ganti tas dan pakaian bermerk, bebas jalan-jalan ke luar negeri, bebas mencicipi santapan berkelas, bebas clubbing setiap malam, tidak perlu ragu mentraktir kawan-kawan, bebas memilih brondong yang akan dikencani dan bebas melakukan apapun. Bukankah hidup itu harus dinikmati, prinsipnya.

Mami vera juga pandai  menutup rapat-rapat rahasia bisnis haramnya. Karyawan-karyawannya selama ini hanya tahu kalau bayi-bayi yang biasa dititipkan di salon adalah anak dari emak-emak kawan mami Vera yang memang lebih senang hidup stylish daripada ngurusin anak. Toh bayi-bayi tersebut hanya dititip beberapa hari lalu dibawa kembali oleh baby sitter-nya.

**** ****

Pada suatu petang yang damai, intercom di ruang kerja mami Vera berbunyi. Salah satu karyawan melapor jika ada seorang ibu yang datang meminta bayinya kembali. Semua karyawan kebingungan karena tidak mengerti dengan maksud si ibu. Tak diladeni, membuat ibu itu malah menangis dan ngotot mau bertemu mami Vera.

“Baik, antar di ke ruang tamu kantor saya sekarang…,” sahut mami Vera dingin. Api rokok yang masih sebatang penuh dimatikan cepat-cepat ke dalam asbak kayu jati. Dalam hati dia mengutuk kerja anak buahnya di lapangan.

Pasti ada yang teledor, sehingga ibu malang itu tahu-tahu sampai ke tempat ini. Mana sebentar malam sudah ada rencana hangout bareng kawan-kawan dan brondong modis, batin mami Vera.

Isak tangis tertahan terdengar menyayat hati, begitu mami Vera membuka pintu ruang tamu eksekutifnya. Sebuah ruangan kecil, dengan suasana cozy yang di-setting mirip lounge sebuah hotel. Lokasinya tepat disamping ruang kerja mami Vera.

Disitu nampak seorang ibu muda, berambut ikal panjang dengan mata sayu.

“Saya minta bayi saya kembali, bu. Saya tahu bayi saya ada disini…,” keluh ibu itu.

Mami Vera tersenyum dingin.

“Ibu….. Kami tidak menyimpan bayi siapa-siapa disini? Saya persilahkan ibu mencari sendiri di rumah saya ini. Cari sampai puas. Kalau memang ibu ketemu bayi ibu silahkan diambil….”

Mami Vera berani karena yakin benar “barang baru” paling cepat datangnya dua hari lagi. Saat ini salon maupun rumahnya memang clear.

“Tapi saya yakin ibu. Anak buah ibu membawa bayi saya kesini….,” sahut ibu muda itu lagi. Isaknya semakin tinggi.

“Anak buah yang mana? Karyawan saya semua setiap hari fulltime di bawah, ngurusin salon bayi. Sudahlah ibu… bisa saja ibu salah alamat,”

Ibu muda itu terdiam. Mami Vera tiba-tiba seperti mendapat inspirasi. Dia lalu menghilang sebentar ke ruang kerjanya, lalu begitu kembali lagi membawa beberapa lembar uang merah.

“Ibu…. Ini saya ikhlas. Tidak banyak kok, tapi siapa tahu bisa membantu ibu menemukan kembali anaknya yang hilang,” ucap mami Vera sambil menyodorkan lembaran-lembaran uang itu. Ibu di depannya kelihatan ragu-ragu mengambil.

“Udah ambil saja… Tapi tolong jangan ganggu kami lagi…”

Tak lama kemudian uang tersebut telah berpindah tangan. Tapi tatapan ibu itu sama sekali tidak menyiratkan dia tertarik dengan uang yang diberikan mami Vera. Malah kelihatan sekarang tatapannya semakin hampa, seperti danau bening yang siap menenggalamkan siapa saja kedalamnya.

“Udah ya…. Sekarang ibu sudah bisa pulang. Nanti saya panggilkan karyawan saya untuk membantu.”

Mami Vera cepat-cepat menghubungi salah satu karyawannya untuk menjemput kembali ibu itu.

Begitu masuk kembali ke kantor, handphonenya berbunyi nyaring. Memandang nama penelepon, mami Vera nampak girang.

“Haluu…..,” sapanya ramah.

“Halo, Tan. Gimana? Jadi gak bentar malam kita party di apartemen tante Viola?” suara bas menggoda terdengar dari speaker handphone.

“Jadi dong, Bayu. Jangan lupa jemput tante ya, hanya sepertinya masih agak lama nih. Tante baru aja ada tamu… “

“Oh,, gak apa-apa, Tan. Bayu juga masih mau muter-muter dulu.”

“Eh, jangan lupa sama janji kamu, ya. Mau ngenalin tante sama temen kamu,… itu loh yang ada darah Arab-nya. Hihihi,….”

“Beres, sekalian bentar Bayu ajak juga….”

“Bener ya? Ya udah kalu gitu. Dah Bayu…..,”

“Dah, tantee….”

**** *****

Pukul tiga subuh lewat sedikit, baru mami Vera kembali ke rumahnya. Dengan langkah tertatih karena setengah mabok, mami Vera membuka kunci kamarnya, menghempaskan tas Prada, kalung, giwang dan gaun pestanya ke atas meja rias. Lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang king size.

Pesta yang sarat alkohol dan mengencani pria-pria muda energik menghabiskan hampir seluruh tenaganya. Tapi dia cukup puas menikmati malam itu. Dengan tenaga yang tersisa mami Vera mengambil dua remote control di sisi ranjang, lalu mematikan penerangan utama di kamar itu dan mengencangkan pendingin udara kamar.

Matanya hampir benar-benar terpejam, saat sebuah suara mengusik pendengarannya. Itu suara isak tangis, tapi hanya samar-samar, seperti suara yang entah darimana dibawa begitu saja oleh angin malam.

Tapi beberapa saat kemudian, isak tangis itu suaranya semakin besar. Malah kini terdengar seperti yang empunya suara sedang berhadapan dengan mami Vera. Mami vera pun terkejut, seluruh bulu kuduknya merinding. Dari lampu tidur yang dibiarkan tetap menyala, pandangan mami Vera tertumbuk pada bayangan seorang ibu muda yang duduk terpaku di depan cermin riasnya. Isak tangisnya persis sama dengan isak tangis tamu yang datang sore ini.

“Saya minta bayi saya kembali, bu. Saya tahu bayi saya ada disini…,” keluh kesah itu juga terdengar sama persis. Mami Vera seperti baru saja mendengar rekaman kaset percakapan mereka sore tadi. Dia baru mau mendamprat ibu muda itu dengan teriakan lancang, tapi saat kembali menyalakan lampu ruangan mami Vera membelalak.

Ibu muda itu memiliki wajah buruk, seperti jenazah yang sudah berhari-hari dimakamkan. Kulitnya hitam membiru. Beberapa bagian wajahnya tidak utuh lagi, bibir terkelupas, cuping hidung longgar dengan rongga mata yang kosong melompong.

Mami Vera pun berteriak histeris sejadi-jadinya.

*** ***

Peristiwa pemilik salon Baby and Mom yang meninggal setengah telanjang di kamarnya tak lama kemudian jadi headline surat kabar-surat kabar lokal.

Awalnya kematian mami Vera didiagnosa dokter akibat serangan jantung. Tapi kasak-kusuk beberapa asisten rumah tangganya mengenai jeritan dari arah kamar mami Vera di lantai dua pada malam kepergian mami Vera tak urung mengundang kecurigaan aparat kepolisian.

Beberapa petugas pun diturunkan untuk mengendus penyebab kematian mami Vera. Sejak saat itu satu demi satu kecurigaan petugas mengarahkan penyelidikan mereka pada sebuah jaringan sindikat kelam yang selama ini tertutup rapat-rapat dengan rapi.

Satu per satu rahasia bisnis gelap yang dilakoni mami Vera pun tersingkap. Beberapa bulan kemudian, headline surat kabar lokal pun mengangkat berita mengenai pemilik salon “Baby and Mom” selama ini ternyata bandar sindikat perdagangan bayi.

Penyelidikan yang intens membuat sejumlah  anggota jaringan pun berhasil diringkus petugas.

*** ***

Satu tahun kemudian, peristiwa tersebut sudah hampir dilupakan orang.

Salon Baby and Mom yang sejak peristiwa kematian mami Vera ditutup, hanya menyisakan plang papan nama kusam dan jendela-jendela berdebu. Iklan “Rumah ini Dijual” yang dipajang di depan rumah oleh anak mami Vera sampai hari ini tak kunjung direspon calon pembeli.

Sebenarnya lokasi rumah tersebut cukup strategis, tetapi desas-desus yang tersebar dari mulut ke mulut warga kompleks perumahan membuat siapapun yang tertarik membeli jadi mengurungkan niat mereka.

Konon, pada malam-malam tertentu dari rumah itu terdengar isak tangis wanita dan suara lirih  bercampur angin malam yang membuat siapapun yang mendengarnya akan merinding ketakutan…

“……..saya minta bayi saya kembali…….”

**** ****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun