[caption id="attachment_403839" align="aligncenter" width="448" caption="ilustrasi dari: evelt-yanait.deviantart.com"][/caption]
Malam datang bagai peri berwajah pucat memayungi ujung kota dengan sayap raksasanya. Angin pun berhembus deras, membawa gerimis dan lembaran-lembaran koran tua dari atas trotoar.
Dari kursi taman yang nampak renta tak terawat, Cyntia memandang hampa dua bocah yang masih saja bermain petak umpet di antara cemara. Mereka tak peduli, tarian gerimis itu hampir membuat basah seluruh tubuh mereka.
Tepat di depannya, seorang tukang sapu menyibak dan mengumpulkan daun-daun kering dengan sapu panjangnya. Cyntia pun beranjak malas meninggalkan kursi taman. Gadis itu kemudian memilih duduk di atas trotoar, di sisi seorang kakek pengemis buta yang masih betah dengan mangkok recehannya.
Sepi pun buyar setelah dari kejauhan terdengar deru sepeda motor. Makin lama suaranya makin jelas, juga rupa si pengendara motor makin nampak. Cyntia tersenyum kecil. Akhirnya ada juga tukang ojek lewat.
****
Sekalipun mengenakan jaket super tebal, Odil merasa hawa dingin masih bisa menggigit kulitnya. Tapi dia juga tidak berniat menurunkan kecepatan motornya. Sejak tadi dia memaki dalam hati, karena walaupun sudah memacu motor sekencangnya, pada akhirnya dia harus melintasi kota mati ini malam hari.
Kawasan yang berada di ujung selatan kota ini, pada zaman dulu adalah pusat keramaian. Namun saat bandara perintis didirikan jauh ke arah timur, perlahan-lahan lokasi perputaran uang kota pun bergeser. Pusat perbelanjaan, perumahan, dan kantor-kantor pelayanan masyarakat banyak dibangun di sebelah timur dan utara kota. Lama kelamaan daerah selatan mulai ditinggalkan penduduk. Yang masih betah tinggal, hanya segelintir orang saja. Itu pun karena mereka tidak mau melepas tanah warisan pendahulu mereka. Praktis, kawasan ini pun semakin lama semakin sepi. Apalagi pada malam hari, sepinya seperti kompleks pekuburan saja nampaknya. Makanya orang-orang menjuluki kawasan selatan ini sebagai “kota mati.”
Kemudian tersebar kasak kusuk kalau kawasan selatan kedatangan “penghuni baru”. Penduduk yang tersisa mulai sering mendengar suara-suara aneh di malam hari, terutama dari klinik yang tidak digunakan lagi. Kadang-kadang muncul suara keramaian, seperti ada pasar malam. Lain waktu, terdengar suara mirip playgroup dadakan di tengah malam. Akhir-akhir ini kecelakaan lalu lintas juga terjadi pada beberapa orang yang melintas di daerah tersebut. Para korban yang selamat mengatakan mereka melihat seperti ada yang tiba-tiba melintas di depan kendaraan mereka. Semakin klop-lah julukan kota mati untuk kawasan selatan kota ini.
Odil sore tadi terlanjur deal dengan seorang bapak yang minta diantar dari daerah bandara ke arah luar kota. Jaraknya cukup jauh sebenarnya, sehingga awalnya Odil tidak bersedia. Apalagi untuk kembali ke kota tidak ada jalur alternatif selain harus melewati kota mati. Odil juga sudah memperkirakan akan melintas kota mati pada saat hari sudah malam. Tapi bapak calon penumpang Odil memberikan penawaran yang menggiurkan. Dia bersedia membayar setengah juta. Odil pun goyah. Itu omset beberapa hari, yang bisa diperolehnya hanya dalam beberapa jam jika dia bersedia. Mereka pun deal.
****
Untunglah sekalipun hampir tak berpenghuni, beberapa lampu jalan masih berfungsi sehingga Odil terbantu menerobos malam dan gerimis di tengah kota mati itu. Perbatasan kota mati dengan kawasan kota yang lebih ramai, masih sekitar lima belas menit ke depan. Dia sudah bisa bernapas lega jika sampai kesana. Tapi untuk saat ini dia harus bisa meredam gemuruh degup jantungnya.
Sesaat Odil merasa bulu kuduknya merinding, mungkin ini pengaruh cuaca dingin atau pengaruh yang lain….
Sebentar lagi motornya akan melewati tempat yang menurut orang-orang adalah tempat paling angker di kota mati itu, klinik kesehatan sekaligus klinik bersalin yang hampir ambruk karena sudah lama tidak terpakai lagi. Tak ingin membiarkan pikirannya lari kemana-mana, Odil meninggikan kecepatan motor bebeknya.
Saat melirik ke kaca spion, jantungnya hampir berhenti berdetak. Kaca itu menangkap ujung baju seseorang yang melambai ditiup angin, tepat di belakangnya punggungnya. Sepintas dia juga bisa melihat ujung jemari “penumpang” misterius tersebut, jemari lentik dan berkuku panjang hitam tak terawat.
Odil pun blackout. Darahnya seperti tersedot seluruhnya naik ke ubun-ubun. Setir motor terhentak. Sedetik kemudian, suara keras benturan motor dan aspal jalanan terdengar membelah malam.
****
Peristiwa tragis itu membuat aktivitas di sekitar klinik berhenti. Semua orang serempak memandang ke arah jalanan.
Cyntia menunduk meneliti wajah Odil dari dekat. Perlahan dia membersihkan pecahan kaca helm dari bibir dan hidung Odil yang terbaring tak sadarkan diri.
Saat Cyntia berdiri, orang-orang di sekitar situ pun kembali melanjutkan aktivitas mereka, seolah kecelakaan itu hanya iklan yang numpang lewat saja.
“Cyntiaaa…..!!!” Seorang ibu tua di atas kursi roda keluar dari pintu klinik, dan menatap seram ke arah Cyntia.
“Iya, Ma….. Bagaimana, udah baikan?!” seru Cyntia dari jalanan.
Bukannya menjawab, ibu tua malah melanjutkan amarahnya.
“Sudah berapa kali mama bilang, jangan suka numpang pada mereka. Kamu kan bisa menumpang angin kesini…!! Bagaimana kalau manusia itu mati lagi!”
Cyntia pun mendekati ibu tua itu dan mencoba merajuk,
“Duuh mama, Cyntia kan kangen banget sama mama, kok dimarahin gini? Mama nggak kangen sama Cyntia ya? Cyntia juga sudah periksa, dia masih hidup kok. Hanya lagi nggak sadar saja karena shock.”
Ibu tua itu pun mendengus panjang.
“Ya udah, ayuk masuk ke dalam!,” lalu kemudian terlihatlah senyum pertama dari bibirnya, “….mama juga udah kangen sama kamu…”
Keduanya pun masuk ke dalam klinik. Seorang suster keluar dari dalam mendorong kursi roda ibu tua lainnya. Setelah meminta jalan pada beberapa keluarga pasien yang baru saja akan masuk, suster tersebut menyapa seorang cleaning service yang sedang membersihkan sampah-sampah di emper klinik.
Di jalanan depan, beberapa bocah berkepala plontos melintas. Ada yang membawa layangan, beberapa lagi membopong karung goni. Sejenak mereka berhenti saat berpapasan dengan tubuh Odil yang tergeletak di atas aspal. Berbincang sejenak, lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Saat ini jantung Odil memang masih berdetak. Tapi semakin lama darah yang merembes dari celana jeansnya bercampur hujan semakin pekat, sepekat malam di atas kota mati. (PG)
___________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H