Ini pengalaman pribadi saya dan tiga orang kawan sekitar 3 atau 4 tahun lalu. Siang itu, kami sedang dalam perjalanan menuju ke salah satu desa di pedalaman Sulawesi Tenggara. Siang cukup terik, mobil rental yang kami tumpangi berjalan mulus.
Saat itu waktu mendekati jam makan siang, praktis perut kami mulai bernyanyi minta diisi. Apesnya di sepanjang jalan yang kami lalui tidak nampak satu pun warung makan. Pemandangan yang ada hanya hutan, belukar dan sesekali rumah penduduk. Kami terus melaju. Kawan yang menyetir mengatakan ada warung makan di pinggir jalan yang akan kami lewati. Hanya dia lupa dimana tepatnya.
Jarum jam melewati angka 12, lalu mendekati angka 1, lalu mendekati angka 2. Kami semua sudah sangat tidak nyaman dengan rasa lapar yang tertahan. Tujuan kami masih sekitar 4 jam lagi di depan. Biskuit dan beberapa makanan kecil sudah tandas dipakai mengganjal perut. Kami pun memutuskan untuk meminggirkan mobil disamping seorang bapak bercaping di sisi jalan dan bertanya di mana kira-kira warung makan terdekat.
“Oh, terus saja pak. Tidak jauh lagi ada warung makan,” sahut bapak itu.
Kami mengucapkan terima kasih, dan mobil kembali melaju.
Mendekati setengah tiga siang, kami sampai di tempat yang mungkin dimaksud bapak itu. Sebuah rumah sederhana semi permanen. Di depan rumah ada sepotong meja dan beberapa kursi kayu. Lalu ada etalase seadanya, ditulis dengan cat putih. “Sedia Mie Rebus”. Wah, senangnya kami.
Seorang ibu paruh baya pun tergopoh-gopoh keluar rumah dan menyambut kami dengan ramah.
Menu yang ada memang hanya mie instant yang direbus dengan kacang goreng dan telor rebus sebagai alternatifnya. Kami pun memesan sesuai dengan mie instant favorit kami. Tak ada seorang pun yang berpikir untuk menyakan harga per porsinya karena semua sudah sangat kelaparan. Kami juga berpikir harga mie rebus pasti sangat terjangkau. Paling banter lima ribu perak seporsinya. Empat tahun lalu loh.
Setelah menunggu lagi 10 menitan, pesanan kami semua siap. Masing-masing memesan semangkok mie instant yang masih mengepul plus telor rebus. Saya sendiri merasa belum pernah makan mie instant selahap itu. Sambil bercanda kami menghabiskan pesanan kami.
Setelah semua tandas. Kini ganti asap rokok yang mengepul. Salah satu kawan bermaksud membayar pesanan kami. Alangkah terkejutnya dia dan kami begitu mengetahui harga mie rebus plus telor rebus itu Rp 20.000 per porsi. Kami sampai mengkonfirmasi kembali harganya ke si ibu dan dia tetap yakin harganya segitu.
“Apa-apa disini mahal pak. Barang juga jarang sekali masuk,” kilah si ibu.
Dengan berat hati kami pun membayar tagihannya. Mie instant empat bungkus dan telor empat butir hampir seratus ribu harganya. Tapi tak apalah. Paling tidak kami bersyukur masalah perut sudah selesai.
Saat meneruskan perjalanan kami masih sempat bercanda mengenai harga makanan kami.
“Baru kali ini saya makan mie rebus rasa duit,” kata salah satu kawan. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H