[caption id="attachment_313229" align="aligncenter" width="413" caption="Babi ukuran jumbo "][/caption]
Saya berkesempatan berlibur sekaligus menutup tahun 2013 di Lembang Gasing, sebuah perkampunganeksotis yang menghampar di bebukitan bagian Selatan Kabupaten Tana Toraja. Berada pada daerah ketingggian membuat suhu begitu dingin menggigit. Pada siang terik pun saya kadang melapisi tubuh dengan jaket untuk mengalahkan dinginnya udara.
Pada tanggal 30 Desember 2013, keluarga mengadakan acara syukuran untuk beberapa peristiwa penting yang terjadi selama tahun 2013. Acara syukuran ala kampung disini memiliki kekhasan yaitu penuh nuansa kekeluargaan dan kesederhanaan tanpa menghilangkan makna dari perayaan itu sendiri.
[caption id="attachment_313228" align="aligncenter" width="533" caption="Salah satu view dari atas perkampungan"]
[caption id="attachment_313229" align="aligncenter" width="413" caption="Babi ukuran jumbo setelah tiba di lokasi hajatan"]
Tanggal 30 pagi sekitar jam 6.30, bapak-bapak yang akan memasak pa'piong sudah berkumpul. Sudah jadi kebiasaan warga disini, kegiatan masak memasak Pa'piong diserahkan kepada laki-laki. sedangkan kaum perempuan memasak beras, mengolah sayuran dan menu pelengkapnya.
Akhirnya saat ekseskusi pun tiba. Babi yang jadi korban, dibunuh dengan cara ditikam di daerah sekitar leher tempat pembuluh nadinya berada. Peran algojonya diserahkan kepada salah satu bapak yang rupanya memang sudah berpengalaman karena lazimnya proses tikam ini tidak dilakukan berulang-ulang, jadi harus dipastikan agar arah tikaman akurat. Jika korban sudah tidak bernyawa karena kehabisan darah, maka proses selanjutnya adalah mengeluarkan isi perut dan organ dalam babi tersebut agar ketika babi dibakar bobotnya sudah lebih ringan.
Pada pesta-pesta besar yang membutuhkan babi lebih banyak, biasa digunakan pembakar berbahan bakar gas mirip senjata para pemburu setan di film jadul ghostbuster. Pemilik hajatan pun mesti mengeluarkan gocek untuk menyewa alatnya. Namun karena kali ini babi yang digunakan cuma seekor maka cukup digunakan cara manual saja, yaitu dibakar di atas api. Proses membakar babi ini bertujuan untuk membersihkan bulu babi, mirip dengan merendam ayam yang baru disembelih dalam air panas, agar bulunya cepat rontok. Berhubung permukaan kulitnya agak luas, dibutuhkan waktu sekitar setengah jam menyelesaikan proses pembakaran ini. Selama setengah jam itu, babi beberapa kali diubah posisinya agar panas api bisa lebih merata.
Sekitar jam 8 pagi kegiatan bakar membakar selesai. Tuan rumah pun memanggil bapak-bapak untuk minum air hangat dan sarapan pagi.
Proses berikutnya yang lebih memakan waktu adalah menguliti dan mengerat korban menjadi beberapa bagian besar seperti kepala, tungkai, perut dan bagian lainnya. Setelah itu keratan besar ini dipotong lagi jadi bagian-bagian yang lebih kecil. Potongannya diperkirakan cukup untuk mengisi ruangan dalam bambu yang akan menjadi media masaknya. Adapun bambu yang digunakan adalah bambu besar yang masih hijau.
[caption id="attachment_313230" align="aligncenter" width="413" caption="Bulu babi dirontokkan dengan cara dibakar"]
Setelah seluruh potongan daging telah siap, maka daging tadi dicampur dengan garam dan sayuran lalu diaduk. Sayuran yang sering digunakan adalah daun mayana, demikian orang-orang disini biasa menyebutnya. Alternatif lain adalah sayur buah nangka muda yang dicacah kecil.
Apabila potongan daging dan sayuran telah tercampur dengan baik, maka proses selanjutnya adalah mengisi potongan-potongan bambu yang telah tersedia. Panjang bambunya kurang lebih satu sampai satu setengah meter sesuai dengan ukuran ruas bambu, karena ruasnya yang akan menjadi menjadi penahan masakannya. Sedangkan sisi ujungnya yang terbuka disumbat dengan dedaunan seperti daun pisang.
Bambu-bambu yang telah terisi dengan potongan daging pun pun dibariskan membujur di sepanjang tungku khusus. Cara memasaknya, posisi bambu dibuat berdiri dengan kemiringan 30-40 derajat lalu dibawah tungkunya dibuat api sepanjang barisan bambu tersebut. Proses memasak Pa’piong ini berlangsung sekitar 30-40 menit. Selama memasak, sisi bambu yang terkena api diputar beberapa kali agar seluruh bagian bambu terkena panas, dengan demikian masakannya juga mendapat panas secara merata secara merata.
Indikator kematangan pa’piong biasa dilihat dari uap air yang keluar dari sisi atas bambu. Setelah masak, Pa’piong didinginkan beberapa saat. Setelah itu, kulit bambu yang kehitaman karena terkena api disayat terlebih dahulu untuk dibuang dan pa’piong pun sudah siap dibawa ke dapur guna dikeluarkan isinya.
[caption id="attachment_313232" align="aligncenter" width="371" caption="Pa'piong setelah dimasak. Sebentar lagi siap untuk disajikan"]
Menjelang siang, tamu-tamu mulai berdatangan. Para bapak dan ibu seksi sibuk juga mulai bergabung dengan para undangan untuk mengawali ibadat syukuran. Tepat jam 11.30 ibadat syukuran pun dimulai. Yang menarik, seluruh tata ibadat termasuk lagu-lagu pengiringinya rupanya sudah ada dalam versi bahasa daerahnya. jadi kami pun beribadat dengan konsep kearifan lokal.
Ibadat berlangsung selama kurang lebih satu jam. Setelah itu ada pesan-pesan sponsor dari tuan rumah dan Ketua umat di desa. Sebelum makan siang, ada tradisi warga untuk mengadakan lelang daging. Tidak semua potongan daging tadi diolah, tapi ada beberapa yang disisihkan untuk kegiatan lelang ini, seperit potongan kepala dan keratan daging paha. Warga yang menginginkan potongan tersebut dipersilahkan mengikuti lelang. Uang penjualan lelang biasa digunakan untuk tujuan sosial seperti menambah dana pembangunan gereja stasi atau menambah kas kegiatan kemasyarakatan setempat seperti dasawisma, karang taruna, dan lain-lain. Jadi lelang pun dilakukan beberapa tahap sesuai dengan banyaknya peruntukan uang lelangnya. Acara lelang berlangsung seru, karena juru lelang kawakan yang didaulat memandu acara pandai melucu dan menggiring warga menaikan harga lelangnya.
[caption id="attachment_313233" align="aligncenter" width="361" caption="Pemimpin ibadat sedang memberikan renungan."]
Akhirnya setelah acara lelang selesai, acara yang ditunggu-tunggu alias makan siang pun tiba juga. Kaum wanita bergerak menyiapkan makanan termasuk pa’piong yang sejak tadi sudah berpindah media ke piring-piring keramik. Ada kebiasaan menarik dari warga disini. Saat makan, yang digunakan adalah kertas makan sebagai pengganti piring makan. Jadi piring kaca atau batu hanya digunakan untuk menyajikan menu. Unik bukan? Praktis dan dijamin tidak ada piring makan yang pecah akibat kelalaian tamu.
Acara-acara seperti ini juga seringkali digunakan untuk ajang kumpul-kumpul keluarga yang mungkin jarang bertemu entah karena kesibukan masing-masing atau karena yang berjauhan. Jadi setelah makan siang selesai, para tamu pun biasa masih tinggal untuk bercengkrama satu dengan uang lainnya.
Secara administratif, Lembang Gasing terletak di Kecamatan Mengkendek, sekitar 13 Km dari Kota Makale. Untuk mencapainya pun butuh perjuangan tersendiri. Sebelum masuk ke Kecamatan Sangalla, bus yang membawa pengunjung dari Kota Makassar berhenti di SPBU Minanga. Dari situ, pengunjung dapat menyewa ojek bertarif Rp 40.000 - Rp 50.000 sampai ke Lokasi. Perjalanan mendaki dan berliuk-liuk. Ditambah lagi jalan yang dilalui baru berupa jalan rintisan berbatu-batu, sehingga penumpang ojek mesti terguncang-guncang di atas motor. Tapi perjuangan itu terbayar. Begitu sampai, kita akan disuguhi pemandangan alam yang indah dan ketulusan hati warganya. (PG)
Gambar: Dokumen Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H