Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kalau Masih Hidup, Ki Hadjar Dewantara Bakal Sedih

2 Mei 2014   23:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:56 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika masih hidup sampai hari ini, Ki Hadjar Dewantara patut berbangga hati melihat kemajuan dunia pendidikan kita. Pendidikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sosial budaya masyarakat. Mulai dari anak orang berada sampai anak orang melarat punya akses yang sama terhadap pendidikan. Fasilitas dan infrastrukturnya pun telah berkembang pesat. Belakangan ini, penetrasi ilmu pengetahuan juga semakin dalam menjangkau sudut-sudut terpencil negeri ini seiring perkembangan teknologi telekomunikasi.

Negara juga secara khusus memberi perhatian pada bidang Pendidikan dengan menempatkan satu departemen yang dipimpin oleh Menteri di bawah Presiden yang khusus menangani Pendidikan. Pokoknya secara sistem semua berjalan dengan ideal.

Tapi di sisi lain, mungkin juga Ki Hajar Dewantaran bakal sedih hati. Ternyata akses terhadap pendidikan belum didukung sepenuhnya oleh infrastruktur. Mungkin termasuk juga komitmen dari orang-orang yang berkompeten dalam ranah tersebut.

Di satu tempat, anak-anak belajar dan mengukir prestasi di dalam ruangan kelas yang lux, didukung oleh perpustakaan digital dengan database paling lengkap. Sementara di tempat lain, sebagian anak-anak harus bertaruh nyawa untuk sampai ke sekolah demi mengecap indahnya ilmu pengetahuan.

Di salah satu tempat di pedalaman Sumetera Barat misalnya.  Semangat mereka jauh lebih tinggi dari ketakutan mereka terhadap arus deras yang sewaktu-waktu bisa menyeret mereka tatkala menyeberangi kawat titian yang menghubungkan desa mereka dengan desa tempat sekolah mereka dibangun.

[caption id="attachment_334401" align="aligncenter" width="317" caption="Menyeberang titian untuk menuju ke sekolah. Gambar dari antaranews.com"][/caption]

[caption id="attachment_334403" align="aligncenter" width="317" caption="Berjuang untuk mengecap pendidikan. Gambar dari antaranews.com"]

1399022046240661531
1399022046240661531
[/caption]

Di tempat lain, gedung-gedung sekolah yang harusnya mampu menjadi rumah kedua para murid-murid, tak terurus lagi, bahkan sampai rubuh karena dimakan usia. Miris rasanya. Itu baru bicara infrastruktur, belum bicara kurikulum yang carut marut.

[caption id="attachment_334404" align="aligncenter" width="480" caption="Meniti jembatan rusak menuju ke sekolah. Gambar dari antaranews.com"]

1399022132696711309
1399022132696711309
[/caption]

Setiap tahun pada tanggal 2 Mei, kita memperingati hari Ulang Tahun Ki Hadjar Dewantara, sekaligus kita juga berefleksi. Kualitas pendidikan kita dulu dicari-cari oleh orang dari luar negeri. Tapi akhir-akhir ini, kita getol mencari informasi mengenai sekolah Internasional untuk mendidik anak-anak kita. Sebuah paradoks yang harus kita jawab bersama.  (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun